KAMI MEMANG BUKAN YANG TERBESAR, TAPI KAMI AKAN BERUSAHA UNTUK MENJADI YANG TERBAIK. SALAM SERIKAT PEGAWAI PINDAD

Sabtu, 12 Juni 2010

Rahasia Membangun Budaya Korporat

Dunia bisnis diramaikan oleh perusahaan yang muncul silih berganti. Puluhan ribu perusahaan baru bermunculan di dunia setiap hari, tak sedikit pula perusahaan yang justru jatuh bangkrut. Namun, perusahaan-perusahaan terbaik tetap menjulang dan menguasai pasar meski telah berusia tua. Apa kuncinya?
Tanyalah para lulusan perguruan tinggi terbaik di Indonesia tentang perusahaan favorit mereka untuk bekerja? Jawabannya tidak jauh-jauh dari Citibank, Astra, Unilever, IBM, Telkom, dan sejumlah nama lainnya. Perusahaan-perusahaan itu, selain market leader juga memiliki track record yang pantas dibanggakan. Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang menempatkan manusia sebagai modal atau asset utama. Di situ, orang-orang yang diterima ditempa keahlian, kompetensi, dan kepemimpinannya. Sikap dan perilaku mereka dibentuk sesuai dengan kultur perusahaan.
Hasilnya, orang-orang Citibank memiliki motivasi bersaing yang sangat tinggi karena budaya korporat Citibank, antara lain, memang menumbuhkan persaingan. Mereka dilatih untuk mencari pemecahan masalah dan berorientasi kepada hasil. Orang-orang Astra dikenal lebih low profile dan mengutamakan kerjasama tim serta etika dalam bekerja. Sedangkan orang-orang Unilever dikenal sangat dinamis dan inovatif.
Sikap dan perilaku merupakan cerminan nyata dari budaya korporat sebuah perusahaan. Budaya korporat, menurut mantan Chairman/CEO IBM yang sangat sukses Louis V. Gerstner, Jr., adalah sukses (atau kegagalan) itu sendiri. Lebih dari sekedar elemen penentu sukses (atau gagal) - bersama-sama dengan elemen lain - seperti yang diyakini banyak orang. Dengan perkataan lain, budaya korporat sangat penting dan strategik bagi keberhasilan perusahaan.
Menurut Nugroho Supangat, Managing Partner Dunamis Organization Services, budaya adalah pola perilaku yang dilihat dalam suatu lingkungan. Misalnya, budaya orang Jawa sangat beda dengan orang Batak. Kalau orang Batak, anak ngomong keras, bapak ngomong keras, orang Jawa menyangka mereka lagi berantam. Padahal belum tentu.
Budaya korporat adalah budaya yang berkembang di dalam lingkungan sebuah perusahaan. Ada perusahaan yang sangat boss oriented; begitu bos ada mereka bekerja, tapi kalau bos pergi mereka main game semua. Kemudian ada budaya customer oriented, mengutamakan konsumen. Apapun dikalahkan demi kepentingan konsumen. Lain lagi di lingkungan BUMN. Budaya tenggang rasanya - budaya Jawa - terasa sekali. Sementara di perusahaan asing, orang bebas saja menyampaikan pendapat, ide-ide, dan sebagainya.
"Sesungguhnya budaya korporat itu barang abstrak. Susah dilihat tapi bisa dirasakan," tukas Marina R. Tusin, Managing Partner TASS Consulting. Manifestasinya, menurut Marina, bisa dilihat dari bagaimana orang berinteraksi dalam perusahaan, cara pandang, sistem, iklim atau atmosfir kerja, pola pengambilan keputusan, hubungan atasan-bawahan. Hal ini sering juga disebut dengan istilah core value dari sebuah perusahaan. Sebuah tatanan nilai atau prinsip yang diyakini benar atau baik oleh satu organisasi dalam mencapai tujuan tertentu.
Dalam istilah pakar manajemen perubahan Dr. A.B. Susanto, budaya korporat adalah alat manajemen mencapai tujuan. "Saya sering melihat, perusahaan hebat karena eksekutifnya muda-muda, sekolahnya tinggi, punya penampilan yang baik, cerdas, dan kemampuan komunikasi yang bagus. Namun sayang, ujung tombak yang runcing ini menghadapnya tidak sama semua. Ada yang ke atas, ke bawah, dan ke samping. Akibatnya, perkembangan perusahaan tidak terarah," kata Managing Director The Jakarta Consulting Group itu.
Sebagai perusahaan konsultan yang mengkhusus pada manajemen perubahan, The Jakarta Consulting Group banyak terlibat dalam pembentukan budaya korporat di Indonesia. AB Susanto memperkirakan, 70% program budaya korporat di Indonesia dibantu oleh perusahaannya. Proses yang dilakukan dimulai dari pembentukan visi dan misi perusahaan. Disusul dengan menyusun strategi utama perusahaan agar visi dan misi itu bisa diwujudkan. Kemudian dibentuk struktur organisasi. Kalau struktur organisasi sudah terbentuk, lanjut AB Susanto, baru berbicara soal budaya korporat. Misalnya, perlu tidak budaya itu diformalkan atau tidak.
Menyarikan budaya perusahaan dilakukan setelah mengeksplorasi nilai-nilai yang ada. Konsultan sangat membantu memilah-milah nilai-nilai yang baik dan relevan bagi pencapaian tujuan perusahaan. Nilai-nilai ini kalau diformalkan sangat mendukung kemajuan perusahaan. Ini merupakan tahapan pertama, yang oleh Nugroho disebut dengan formulasi nilai-nilai. Yang patut disadari, lanjut Nugroho, Marina, dan AB Susanto, pembicaraan tentang budaya korporat tidak mengenal budaya baik dan buruk. Yang ada hanya budaya yang mendukung dan tidak mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
Tahap kedua, setelah budaya perusahaan dibentuk, perlu sosialisasi atau internalisasi budaya tersebut ke seluruh jajaran perusahaan secara terus menerus. Tujuannya bukan hanya karyawan paham akan slogan atau kredo perusahaan, tetapi juga tercermin dari sikap dan perilaku mereka dalam bekerja. Tahapan ini adalah tahapan tersulit karena banyak perusahaan yang memiliki budaya korporat baru sebatas slogan. Nilai-nilainya indah, tapi sikap dan perilaku karyawan tidak berubah. Ada yang mengklaim budayanya mengutamakan pelanggan, kenyataannya yang didahulukan adalah faktor uang, bukan pelanggan. Jelas, hal ini sangat mendasar. "Biasanya perusahaan hancur karena tidak mengahulukan pelanggannya," tutur Nugroho.
Kenyataan lain, sikap dan perilaku pimpinan yang tidak sesuai dengan budaya korporat yang didengung-dengungkan. Padahal, menurut AB Susanto dan Marina, pemimpin berperan terbesar dalam membentuk budaya korporat. Sebagian besar proses pembentukan budaya diperoleh dari CEO atau pemilik perusahaan. Ada perusahaan yang inisiatifnya berasal dari level menengah, tetapi tidak akan jalan selama pejabat di atasnya tidak memberi komitmen, seperti yang dominan terjadi di BUMN.
Pimpinan merupakan figur panutan sehingga sikap dan perilakunya akan menjadi contoh bagi seluruh jajaran perusahaan. Ia harus konsisten dalam menerapkan budaya perusahaan yang telah disepakati. Kalau perusahaan mengutamakan kejujuran - salah satu nilai dasar yang dipegang oleh raksasa Procter & Gamble (honesty and fairness) ataupun Merck (honesty and integrity) - maka pimpinan harus menjadi tauladan pertama dalam menerapkan perilaku jujur itu. Selain dedikasi terhadap nilai-nilai, sang pimpinan juga harus mengoreksi perilaku yang salah atau tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan. Sosialisasi, internalisasi, dan komunikasi merupakan tugas sentral seorang pimpinan.
Berikutnya, dan ini tidak kalah penting, memberikan penghargaan terhadap orang-orang yang menunjukkan perilaku sesuai dengan budaya korporat. Caranya dengan mengukur kinerja karyawan sesuai dengan budaya korporat. Marina mengatakan, ada perusahaan yang kinerja karyawannya diukur dari penjualan atau laba saja, ini tidak salah. Hanya saja organisasi semacam ini cenderung berorientasi pada jangka pendek semata. Seharusnya, perusahaan menitikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia (SDM) seperti yang telah ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan paling dikagumi di dunia. Sehingga indicator pengukuran kinerja karyawan lebih diperluas, dan manajemen kinerja juga diselaraskan dengan budaya yang hendak dibangun - sistem SDM, kebijakan di bidang SDM dan terapannya seperti reward dan punishment, pendidikan dan pelatihan.
Tahap ketiga, mengukur apakah budaya korporat itu sudah diterapkan secara benar oleh jajaran perusahaan dengan menggunakan indikator-indikator perilaku yang diperlukan. Bila masih ada yang belum melakukannya, salah satu opsi adalah dengan memformalkan terlebih dulu budaya korporat itu. "Banyak cara untuk mengevaluasi penerapan budaya korporat. Kuncinya, harus dilakukan secara konsisten," tegas Nugroho, mantan pimpinan Amex Indonesia itu.
Persoalan utama pembentukan budaya korporat di Indonesia adalah inkonsistensi pembentukan budaya karena yang lebih berpengaruh adalah budaya sang pemimpin. Begitu sang pemimpin berganti, budaya kerja pun berubah. Pemimpin baru merasa bodoh atau kalah bila tidak mengganti budaya kerja sesuai keinginannya. Akibatnya, para karyawan pusing. Di perusahaan-perusahaan seperti ini, upaya membangun institusi masih menjadi masalah. Institusi yang kuat tidak akan terpengaruh oleh pergantian pimpinan. Mungkin hanya diperlukan sedikit penyesuaian saja terhadap budaya korporat bila pemimpin baru datang.
Repotnya, pembentukan (baca: pemantapan) budaya korporat membutuhkan waktu yang lama. Dibutuhkan beberapa periode kepemimpinan atau waktu tahunan atau bahkan puluhan tahun secara konsisten. Setiap pemimpin baru harus menyempurnakan budaya yang sudah terbentuk sebelumnya disesuaikan dengan perubahan lingkungan maupun kebutuhan organisasi mengantisipasi perubahan di masa depan. Perhatikan bagaimana Astra meletakkan dasar-dasar budaya korporat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai pendirinya William Soeryadjaya sejak didirikan tahun 1960-an. Budaya korporat itu makin dimantapkan di era kepemimpinan Teddy P. Rachmat, disusul Rini MS Soewandi, dan Budi Setiadharma saat ini.
Contoh yang sangat baik adalah konsistensi manajemen Citicorp (Citibank) dalam membangun budaya korporatnya sejak pertama didirikan tahun 1890-an. Sejak awal, pemimpin City Bank (kemudian berubah nama menjadi Citicorp) selalu membuat tujuan bisnis yang berani dan jelas. Presiden/pendiri City Bank James Stillman telah membuat tujuan yang berani (dalam banyak hal juga memberi stimulasi) untuk menjadi sebuah nasional yang besar. Padahal, waktu itu, City Bank hanya sebuah bank kecil berskala regional di Amerika dengan seorang Presiden, seorang kasir, dan sejumlah karyawan.
Sikap dan ambisi Stillman itu memberi inspirasi bagi pengembangan perusahaan di era kepemimpian berikutnya. Frank Vanderlip, pengganti Stillman, menulis tahun 1915 (seperempat abad setelah mimpi Stillman dan 6 tahun setelah Stillman pindah ke Paris untuk pensiun):
Saya sangat yakin bahwa terbuka peluang buat kami untuk menjadi institusi keuangan yang paling kuat, paling handal dalam layanan, dan tersebar luas pertama di dunia.
Sungguh sebuah ambisi bisnis yang besar mengingat waktu itu hanya memiliki 8 Vice President, 10 staf yunior, dan kurang dari 500 karyawan serta hanya ada di satu lokasi Wall Street. Berikutnya, Charles Mitchell menggaungkan kembali ambisi itu dalam pidatonya di depan karyawan tahun 1922. "Masa depan City Bank lebih cerah dari yang pernah ada. Kita siap untuk melangkah dengan kecepatan penuh ke depan." City Bank memang bertumbuh secara luar biasa: dari total asset US2 juta tahun 1914 menjadi US,6 miliar tahun 1929, dengan pertumbuhan rata-rata 35% per tahun.
Seperti juga banyak bank lainnya, City Bank juga kena dampak buruk akibat Perang Dunia taun 1930-an, tapi setelah Perang Dunia II - dengan 5 generasi kepemimpinan berikutnya - City Bank tetap memiliki energi yang tinggi untuk mewujudkan ambisi Stillman dan Vanderlip. George Moore, CEO 1959-1967, kembali mempertegas ambisinya seperti para pendahulunya dengan mengatakan: "Sekitar tahun 1960, (kami memutuskan bahwa) kami akan berupaya meraih sukses dalam setiap layanan keuangan yang bermanfaat, di mana pun di dunia ini."
Perhatikan betapa konsistennya manajemen City Bank dalam setiap generasi kepemimpinan. Mimpi Citicorp tidak bisa dilepaskan dari mimpi sang pendiri. Namun, tujuan bisnis itu telah melampaui batas usia sang arsitek. Ia telah melekat dalam sikap, nilai, dan ambisi dari keseluruhan institusi.
Sekali lagi, perusahaan-perusahaan yang tangguh dan berumur panjang tergolong visioner (visionary company), seperti ditulis James C. Collins dan Jerry I. Porras dalam buku Built To Last. Visi itu menjadi sumber penting dalam meletakkan budaya korporat. Dengan budaya korporat, setiap perusahaan bisa menyaring orang-orang yang cocok untuk bergabung dengan organisasi. Otomatis, tukas mantan Presiden Direktur Bank Universal Stephen Z. Satyahadi, orang-orang yang tidak cocok dengan budaya korporat itu akan memilih untuk tidak bergabung atau ke luar perusahaan.
Makanya, seriuslah membangun budaya di perusahaan Anda. (SPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar