KAMI MEMANG BUKAN YANG TERBESAR, TAPI KAMI AKAN BERUSAHA UNTUK MENJADI YANG TERBAIK. SALAM SERIKAT PEGAWAI PINDAD

Sabtu, 12 Juni 2010

Mencari Metode Rekrutmen Terbaik

Beberapa organisasi memilih metode evaluasi psikologi dalam mengevaluasi seorang calon karyawan. Namun semakin banyak perusahaan besar yang kini condong menggunakan metode evaluasi perilaku (behavior test). Alasannya, past behavior predicts future behavior. Bagaimana sebaiknya?
Pernahkah Anda ikut tes masuk di Citibank dan banyak perusahaan global lainnya? Jangan pernah membayangkan Anda akan diuji dengan metode evaluasi psikologis (dulu sering disalahartikan dengan psikotes) seperti yang jamak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lokal maupun BUMN. Perusahaan-perusahaan raksasa itu lebih banyak melakukan tes perilaku (behavioral test) untuk mengetahui kemampuan calon karyawan mereka dalam proses rekrutmen. Kecenderungan penggunaan tes perilaku itu diungkapkan pula oleh sejumlah nara sumber Human Capital.
"Kami tidak memakai metode psikotes, karena psikotes hanya bisa melihat potensi orang, tetapi tidak bisa meramalkan kinerja orang di masa depan," tukas Arvan Pradiansyah, General Manager Human Resources Allianz Life Indonesia. Untuk meramalkan kinerja orang di masa depan, lanjutnya, harus dilihat perilakunya di masa lalu (past behavior). Ini sesuai dengan konsep past behavior predicts future behavior atau perilaku masa lalu bisa digunakan untuk meramalkan kinerja orang itu di masa depan.
Menurut Vina G. Pendit, Direktur PT Daya Dimensi Indonesia, perusahaan rekrutmen yang berafiliasi dengan DDI World berpusat di Amerika, psikotes lebih mengukur potensi intelektual (IQ), sifat bawaan, agresifitas, dan kepribadian seseorang yang kadang kala dalam bekerja tidak ke luar. Potensi itu masih harus digali lagi. Orang yang IQ-nya tinggi belum jadi jaminan berperilaku yang benar. Lewat tes perilaku ataupun emosional (EQ), hal semacam itu bisa diketahui. "Makanya banyak orang yang bilang, orang yang unggul dalam keempat potensi itu belum tentu memiliki tingkat EQ yang tinggi. Bisa saja ia pintar, namun ia hidup di dunianya sendiri," ungkapnya.
Sejalan dengan kesadaran perusahaan tentang pentingnya faktor perilaku dalam menentukan kesuksesan dalam bekerja, maka rekrutmen dengan metode perilaku itu makin menjadi tren global. Ramalan tingkat akurasi pendekatan perilaku ini, menurut British Psychological Association (Inggris), tercatat 0,65. Angka ramalan ini tergolong cukup tinggi karena dalam ilmu sosial tingkat akurasi lebih dari 0,50 sudah dianggap akurat. Dengan tingkat akurasi seperti itu, memang masih punya potensi penyimpangan sebesar 35%, tetapi itu masih wajar karena dalam ilmu sosial tidak ada yang 100%.
Alasannya, menurut Vina, manusia adalah makhluk dinamis, yang tidak bisa dipastikan sepenuhnya. Tetapi, hasil pendekatan perilaku itu tidak jauh meleset karena kecenderungan perilaku manusia yang sama. "Sering isteri mengharapkan perilaku suami berubah setelah berkeluarga, itu sangat sulit terjadi," katanya tertawa, sambil menambahkan, "Kecuali mungkin ada suatu peristiwa yang luar biasa terjadi dan membuatnya trauma. Itu pun tidak menjamin orang berubah."
Pendekatan perilaku ini semakin dipakai untuk rekrutmen level yang semakin tinggi. "Pendekatan ini lebih efektif," ujar Oktav P. Zamani, Assistant Director Bank Muamalat Indonesia (BMI). Biasanya BMI menggunakan psikotes hanya untuk karyawan level bawah. Di Allianz, psikotes hanya dilakukan untuk merekrut sarjana baru lulus (fresh graduate), kendati dasarnya masih menggunakan evaluasi perilaku. "Pengalaman berorganisasi di kampus, kalau ada, bisa menjadi pertimbangan," tukas Arvan Pradiansyah.
Dengan pendekatan perilaku, pengalaman bekerja kandidat bisa menjadi masukan berharga dalam menilai kinerjanya di masa lalu. Hal ini bisa digali dalam wawancara. Hanya saja Senior Consultant EXPERD Yuliana wanti-wanti, perlu keahlian khusus untuk wawancara, karena kalau tidak bisa menggali juga akan sulit. "Observasi saat wawancara itu penting, misalnya memperhatikan caranya menjawab selain mendapatkan jawabannya," katanya.
Faktor berikutnya adalah menginterpretasikan hasil wawancara itu, yang hanya bisa dilakukan tenaga terlatih. Untuk bisa menjadi pewawancara, ia harus mengikuti training sehingga mendapatkan sertifikat. Bahkan, DDI mewajibkan tenaga pewawancara untuk melakukan 2 kali wawancara sebelum terjun ke lapangan. Itu pun harus didampingi tenaga senior 2-3 kali, baru dilepas sendiri. Begitu dilepas sendiri, wawancara pertama yang dilakukan sendiri dilanjutkan dengan wawancara kedua oleh tenaga lebih senior.
Berkembangnya metode evaluasi perilaku membuat metode psikotes kehilangan "gigi". Benarkah? "Tidak juga," tukas Suko Winarno, Kepala Divisi Evaluasi Psikologi Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI. Teknik psikotes pada awalnya berkembang dari kampus-kampus UI, Unpad, UGM, dan universitas lain yang memiliki Fakultas Psikologi. Dari era 70-an hingga 80-an, psikotes sangat dominan sebagai metode dasar rekrutmen. Metode evaluasi perilaku baru berkembang di Indonesia tahun 90-an, namun berjalan agak lambat. Jika metode evaluasi psikologi berkembang dari dataran akademisi atau ilmuwan, maka metode evaluasi perilaku berkembang dari praktik organisasi sehari-hari.
Berbeda dengan evaluasi perilaku yang bisa dilakukan oleh tenaga non-psikolog, psikotes hanya bisa dilakukan oleh psikolog. Untuk bisa melaksanakan psikotes, seseorang harus mengikuti program pendidikan khusus psikologi. Dalam menjalankan tugasnya, para psikolog terikat pada sejumlah kode etik profesi karena ia harus mendiagnosa aspek psikologi orang lain.
Berkembangnya metode evaluasi perilaku secara tidak langsung mengamputasi dominasi psikolog dalam jajaran manajemen SDM, khususnya rekrutmen perusahaan. "Pernyataan itu bisa benar dan bisa juga tidak," tuturnya. Sebab, dalam menjalankan tugas evaluasi psikologi, LPT UI tidak menafikan penggunaan evaluasi perilaku. Caranya, menggabungkan evaluasi psikologi itu dengan evaluasi perilaku. Biasanya sehabis evaluasi psikologi, berdasarkan permintaan klien, LPT UI juga melakukan evaluasi perilaku melalui wawancara maupun simulasi.
"Gabungan kedua metode evaluasi itu adalah yang terbaik, karena keduanya saling melengkapi", lanjutnya. Evaluasi psikologi akan memetakan potensi, kepribadian, sifat bawaan, dan agresifitas kandidat, dan evaluasi perilaku akan mendapatkan gambaran kompetensi yang bersangkutan untuk sukses dalam pekerjaan. Dalam praktiknya, penggabungan kedua metode itu di LPT UI tetap diawali dengan evaluasi psikologi yang memakai berbagai alat bantu tulis dan gambar. Alat-alat bantu evaluasi psikologi itu telah dipergunakan sejak lama oleh LPT UI dan dipercaya.
Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dengan klien, LPT UI bisa mengembangkan tes ke beberapa aspek dari perilaku kandidat. Umpamanya, perusahaan meminta diukur kemampuan kandidat dalam mengambil keputusan atau kemampuan bernegosiasi. Tambahan pekerjaan itu tentu menyebabkan biayanya naik. Evaluasi tambahan ini bisa sampai ke evaluasi perilaku secara penuh. "Hasilnya tentu lebih komprehensif, namun biayanya juga mahal," ungkap Suko lagi. Biaya evaluasi komprehensif itu bisa mencapai Rp 25 juta per orang, dan untuk level direksi bisa Rp 50 juta per orang.
Faktor biaya yang lebih murah dan bisa dilakukan dengan massal membuat evaluasi psikologi lebih disenangi klien. LPT UI mengenakan biaya evaluasi psikologi sekitar Rp 2,5-3 juta per orang, sedangkan biaya evaluasi perilaku minimal dua kali lipat dari jumlah itu. Biaya evaluasi perilaku lebih mahal karena alat bantu tesnya harus dibuat spesifik sesuai dengan bidang tugas si kandidat. Bahkan di Amerika, si kandidat harus melakukan orientasi lapangan dengan beraneka penugasan untuk mengetahui lebih jauh tentang kompetensinya. Waktu yang dibutuhkan bisa seminggu, sementara evaluasi psikologi bisa dilakukan dalam 2 hari saja. Kadang-kadang untuk membuat evaluasi perilaku, konsultan harus turun dulu ke perusahaan, menyusun kriteria dan alat bantu.
Alasan lain kenapa orang lebih banyak meminta evaluasi psikologi, seperti dikemukakan
Suko, karena kebanyakan perusahaan sudah mengetahui kemampuan atau keahliannya dalam bekerja. Apalagi, kalau ia sudah berpengalaman jadi manajer. Yang ingin diketahui perusahaan adalah potret psikologi orang itu supaya sesuai dengan harapan perusahaan. Misalnya, perusahaan butuh manajer yang tegas, memiliki kemampuan analitikal yang bagus, dan mampu mengendalikan diri. Laporan psikologi akan menjelaskan apakah ia sosok yang tegas, bagus memimpin, mampu mengendalikan diri, dan sebagainya.
Lantas, seberapa akurat evaluasi psikologi itu selama ini? "Kami tidak bisa menjelaskan akurasi metode evaluasi psikologi itu. Tetapi yang pasti, permintaan terhadap evaluasi psikologi jauh lebih banyak daripada evaluasi perilaku," jawabnya. Setiap tahunnya LPT UI melakukan evaluasi 3.000-7.000 orang setiap tahunnya, tergantung dari permintaan pasar. Tingginya permintaan terhadap evaluasi psikologi itu bukan berarti evaluasi psikologi lebih akurat, karena - seperti diuraikan di atas - permintaan yang lebih tinggi itu terutama karena biayanya yang jauh lebih murah.
Atas pengalamannya selama ini, General Manager Human Resources Management PT Merpati Nusantara Airlines Tina Kemala, menilai metode evaluasi psikologi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, handal, dan valid. "Metode ini lebih obyektif ketimbang metode wawancara yang cenderung subyektif," ujarnya. Dalam evaluasi psikologi terdapat 5 alat bantu, yaitu isian tertulis, observasi, wawancara, simulasi, dan diskusi kelompok. "Salah memilih alat bantu dan metodenya, salah pula hasilnya," ungkapnya.
Alat bantu evaluasi psikologi banyak tersedia di pasar dan terus berkembang dari hari ke hari. Pengembangan alat bantu ini dimaksudkan untuk mendapatkan potret kepribadian dan potensi intelegensia kandidat yang semakin baik. LPT UI mengembangkan sendiri alat-alat bantu tes itu dan tidak pernah mengambil utuh alat bantu yang ada di pasar tanpa sentuhan mereka. Namun, Yuliana dari EXPERD, melihat cara pikir perusahaan-perusahaan sekarang semakin maju karena mereka tidak mau mengandalkan tes seperti yang banyak dijual. Alasannya, yang biasanya dijual itu sudah ketinggalan jaman.
Sebagai gantinya, banyak atasan yang kini mengembangkan alat ukur tes sendiri. Bahkan, lembaga tes psikologi juga semakin ketat membatasi sertifikasinya supaya tidak semua orang boleh memakai dan membeli alat tes itu. "Kalau ingin beli, orang harus ikut training terlebih dulu," paparnya.
Sadar bahwa kedua metode itu memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, banyak konsultan rekrutmen yang menerapkan kombinasi kedua metode itu bagi keperluan kliennya. Yuliana dari EXPERD mengatakan, alat ukur psikologi adalah alat bantu yang bisa memperkaya evaluasi perilaku, meskipun perusahaannya lebih menggunakan pendekatan Competency Based Assesment. Dari evaluasi psikologi diperoleh gambaran profil dari orang itu yang tidak kelihatan, dan dari evaluasi perilaku diperoleh prediksi perilakunyake depan sehingga kombinasi keduanya memungkinkan adanya profil utuh orang itu luar-dalam.
EXPERD sendiri, menurutnya, tidak meninggalkan salah satu metode itu karena tidak ada alat evaluasi yang bisa dipercaya 100%. Contohnya, mungkin orang pada saat evaluasi psikologi tidak sungguh-sungguh mengerjakannya atau lagi kurang enak badan sehingga hasilnya tidak optimal. Bisa pula orang itu pintar ngomong saat diwawancarai. Makanya, kombinasi kedua pendekatan itu banyak direkomendasikan. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kandidat, EXPERD melakukan pula reference check, yaitu pengecekan referensi kepada perusahaan tempat ia dulu bekerja untuk memastikan kinerja orang itu seperti apa. Perusahaan yang dihubungi adalah perusahaan di mana ia sudah berhenti bekerja. "Kegiatan assessment center, karena menggunakan banyak alat bantu, merupakan metode dengan akurasi paling tinggi," tambahnya.
Hal yang sama dilakukan IQ Recruitment, yang bergerak di bidang rekrutmen dan training. "Kami pakai kedua metode itu," ujar Heroetomo dari perusahaan itu. Alasannya, ada juga hal yang bagus dari evaluasi psikologi karena dibuat berdasarkan riset dan hasilnya bersifat kecenderungan. Kecenderungan itu kemudian ditindaklanjuti dalam wawancara sehingga kecenderungan itu semakin kuat terlihat. Sebagai contoh, tuturnya, ada orang yang percaya dirinya tinggi, cara penyelesaian masalahnya bagus, tetapi berbahaya jika orang ini memiliki kecenderungan ambisius sehingga dia membuat rencana yang muluk-muluk namun akhirnya gagal.
Urutan yang umum dalam melakukan seleksi karyawan dimulai dengan tahapan seleksi administrasi, kemudian tes psikologi, dan tahapan selanjutnya adalah evaluasi perilaku melalui wawancara dan bila diperlukan dengan simulasi. "DDI baru turun saat wawancara dilakukan. Kami ingin lihat motivasinya setelah potensinya diketahui," kata Vina G. Pendit. Kalau tidak sesuai, evaluasi berikutnya tidak perlu dilanjutkan karena hanya buang uang saja. Evaluasi perilaku lebih jauh perlu dilakukan bila motivasi kandidat memenuhi syarat. Pelaksanaan evaluasi perilaku biasanya dilakukan terakhir karena butuh waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih banyak.
"Sebenarnya, tidak apa-apa jika organisasi ingin melakukan evaluasi perilaku terlebih dulu kalau punya uang, waktu, dan tenaga," ujar Vina. Biasanya wawancara untuk menggali perilaku dilakukan oleh lebih dari satu orang. Pewawancara akan mengajukan pertanyaan berbeda untuk hal yang sama.
Kenyataannya, perusahaan membedakan pendekatan evaluasi menurut level jabatan. PT Excelcomindo Pratama, operator seluler, umpamanya, menggunakan tes psikologi untuk level staf, namun bagi mereka yang sudah berpengalaman 2-3 tahun ke atas, termasuk supervisor, tidak lagi menggunakan tes psikologi. Sebagai gantinya, perusahaan menerapkan teknik wawancara yang dibarengi dengan preference test khusus untuk posisi-posisi kunci. Wawancara dilakukan mengacu pada Competency Based Human Resources Management System yang telah dimiliki perusahaan.
"Di situ kami coba menilai kompetensi kandidat berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan," kata Setyarini, Recruitment Staff, dan Ute Gerdanovita, Human Capital Business Partner Excelcomindo. Teknik wawancara ini sering juga disebut Behavior Even Interview (BEI).
Lain lagi dengan PT Cakra Bhasa, perusahaan spesialis pekerjaan bawah air. Karena tuntutan pekerjaannya yang cukup sulit, baik secara intelegensia maupun fisik, maka perusahaan melakukan evaluasi psikologi, wawancara, dan kesehatan secara terpadu. "Pekerjaan kami membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan yang tepat dan kesehatan fisik yang prima," tutur Sukarya Prawiradirdja, Presiden Direktur PT Cakra Bhasa.
Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan Jepang? Menurut Mariko Asmara, Managing Director PT JAC Indonesia yang banyak menangani perusahaan Jepang, perusahaan Jepang lebih mementingkan faktor perilaku dalam menilai karyawan. Kultur perusahaan Jepang, tuturnya, sangat percaya kompetensi itu dimulai dari perilaku. Cara berpikir perusahaan Jepang adalah cari dulu orang yang baik, untuk selanjutnya perusahaan bertanggungjawab mengasahnya. Seperti di Matsushita, lanjutnya, setiap hari perusahaan menyediakan program training. "Cara berpikir seperti itu dibawa oleh perusahaan Jepang ke luar negeri, termasuk Indonesia," ujarnya.
Daisy N. Aboebakar, Senior Consultant JAC Indonesia, menambahkan, perusahaannya pernah menawarkan kepada klien perusahaan Jepang untuk melakukan tes psikotes, tetapi kebanyakan klien menolak. "Klien bilang, agak sulit menghubungkan kinerja kerja dengan psikotes itu. Kadang-kadang psikotesnya bagus, tapi kinerjanya tidak bagus," ungkapnya.
Bekerja di perusahaan Jepang tergolong unik karena umumnya mereka tidak memiliki job description. Ruang lingkup pekerjaan umum sekali dan bersifat parallel sehingga mereka sulit bekerja dengan spesialis. Semua orang harus bisa dan siap dipindah ke bagian mana saja. Setelah dididik, kelak mereka akan mengetahui kompetensi si karyawan. Orang-orang lulusan universitas luar negeri cenderung sangat individual, dan orang-orang seperti itu tidak bisa diterima di perusahaan Jepang.
"Mereka sangat melihat sebagai kelompok atau tim," lanjut Mariko. Kandidat yang bagus namun tidak bisa bekerja dalam tim, tidak bisa diterima klien. Mereka beranggapan, semuanya bermula dari keinginan atau motivasi. Orang-orang yang memiliki motivasi tinggi diyakini akan bisa belajar sendiri.
Bagi perusahaan Jepang faktor proses itu sangat penting sehingga mereka tidak semata melihat hasilnya. Proses yang baik diyakini memberi hasil yang baik pula secara tim. Upaya memperbaiki tradisi itu bukannya tidak ada, seperti yang kini ingin dilakukan Matsushita dengan mengubah cara berpikir kebersamaan menjadi berorientasi pada prestasi. Letak masalahnya, menurut Mariko, justru pada orang-orang Jepang sendiri, apakah mereka siap untuk melakukan itu.
Tak pelak lagi, peran strategis dan vital dari rekrutmen mendorong perusahaan untuk terus menerus memperbaiki metode evaluasi mereka. Pentingnya rekrutmen juga berdampak positif terhadap profesi rekruter. Permintaan terhadap mereka di pasar Amerika meningkat, begitu pula remunerasinya.
Pilihan evaluasi tidak mesti sama satu sama lain, kendatipun metode kombinasi diyakini yang terbaik. Yang penting, manajemen perusahaan menaruh perhatian besar terhadap proses rekrutmen. Maklum, proses rekrutmen yang salah menimbulkan biaya dan masalah yang cukup memusingkan. "There's no such thing fixing a hiring mistake," sela Vina dari DDI.
Ibarat pepatah, garbage in, garbage out. Yang masuk sampah, ke luarnya tetap sampah. Tidak mau 'kan? (SPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar