KAMI MEMANG BUKAN YANG TERBESAR, TAPI KAMI AKAN BERUSAHA UNTUK MENJADI YANG TERBAIK. SALAM SERIKAT PEGAWAI PINDAD

Kamis, 06 Mei 2010

Buruh dari Kacamata Keadilan

Oleh Fahmi Fahriza

Nasib buruh yang masih terpinggirkan bisa menjadi bahan renungan menyambut Hari Buruh yang jatuh pada Sabtu (1/5) besok. Memang, menjadi buruh (karyawan rendahan) di Indonesia tetap merupakan fenomena kendati sebenarnya bukan impian. Tingginya jumlah buruh tidak berarti profesi ini disukai oleh banyak orang. Ini lantaran pekerjaan sebagai buruh tidak menyediakan kehidupan yang layak. Upah rendah, kondisi kerja buruk, jam kerja kelewat panjang, jaminan sosial tidak memadai, jaminan hukum tidak pasti, jaminan kesehatan dan mutu keselamatan kerja yang jauh dari kondisi ideal dan sebagainya, masih menjadi masalah yang kian menjadi-jadi. Peraturan perundang-undangan yang ada justru kian mempersempit ruang gerak perjuangan nasib buruh dan kian berorientasi pada stabilitas produksi yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha.

Muaranya, buruh tidak ditempatkan sebagai salah satu elemen penting dalam proses produksi yang harus diperhatikan hak-haknya. Tetapi, mereka ditempatkan sekadar sebagai sekrup dari mesin produksi. Kenaikan upah buruh tidak menjadi pemikiran pemerintah karena akan berbenturan kepentingan dengan "upah rendah sebagai keuntungan kompetitif" (comparative advantage) yang justru dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dalam rangka maksimalisasi rente atau keuntungan. Oleh karena itu, posisi buruh menjadi lemah. Jika terjadi kasus perburuhan, solusi yang diberikan nyaris hanya sebagai upaya tambal sulam dan tidak menyelesaikan persoalan secara mendasar, menyeluruh, dan tuntas.

Mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diterapkan selama ini juga banyak mengalami kegagalan. HIP yang menekankan hubungan kemitraan berasaskan kekeluargaan, cenderung untuk mengikat kesetiaan buruh dengan dalih kesetiaan pada ideologi. Pada pelaksanaannya, HIP justru mengebiri berbagai hak kaum buruh, lebih memenangkan kepentingan pengusaha. Walhasil, berbagai problem yang menyangkut hak-hak kaum buruh tidak terselesaikan dengan baik. Lebih ironis lagi, pemerintah dengan aparat keamanannya bertindak represif menekan gerakan buruh dalam meraih hak-haknya.
Pola hubungan buruh dan pemilik usaha yang seharusnya setara dalam format simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) terus berubah menjadi hubungan budak-majikan. Ini tampak dari tindakan penguasa yang semena-mena terhadap buruh. Apabila hal ini terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan muncul kondisi seperti perburuhan di Eropa dan Amerika abad ke-18 yang kemudian melahirkan demonstrasi berbuntut kerusuhan besar tahun 1886.

Salah satu problem krusial yang sering dialami para buruh adalah terkait dengan gaji/upah minimum provinsi/UMP. Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta tanggungannya. Kebutuhan hidup makin meningkat, sedangkan gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh.

Sementara itu, rendahnya gaji buruh selama ini justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan, justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pemerintah lebih sering memihak kepada sang investor ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya, bagaimana SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal?

Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat batas minimal gaji yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah upah minimum regional (UMR) yang dalam perkembangannya kemudian bernama upah minimum provinsi (UMP). Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMP ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk pada kebutuhan fisik minimum (KFM), kebutuhan hidup minimum (KHM) atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan.

Jika dilihat, penetapan UMP sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMP di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh malas untuk memaksa pengusaha memberi gaji minimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meski ini sangat jarang terjadi). Di sisi lain, UMP kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meski si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi.
Pihak pekerja yang mayoritas berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan dan kaum buruh berada pada posisi sulit menolak.

Sementara itu, majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMP. Sebab, meski pekerja bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harus membayar sesuai batas tersebut. Posisi tawar yang rendah dari para buruh makin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan makin bertambah, tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMP.

Selain problem UMP, para buruh masih harus dihadapkan pada problem-problem lain seputar pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebenarnya PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentunya asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB) dan pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Hanya saja, dalam kondisi tidak terjadi keseimbangan posisi tawar-menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang sangat menakutkan para buruh.

Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar bagi kalangan buruh, karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Pertama, posisi salah satu pihak yang lemah (biasanya pihak pekerja) sehingga pihak lain yang lebih kuat dengan mudah memutuskan hubungan kerja dan menggantinya dengan pekerja baru yang sesuai keinginan. Kedua, tidak jelasnya kontrak (waktu) kerja sehingga PHK bisa terjadi kapan saja karena kebijakan KKB tidak dikontrol dengan baik. Ketiga, rendahnya SDM kaum pekerja, makin sulitnya mencari pekerjaan alternatif, dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara. Keempat, tidak adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian kasus PHK secara tuntas yang memuaskan kedua pihak, terutama pihak buruh yang paling sering menerima kekalahan.
Secara kasuistik, hal itu lebih disebabkan rendahnya pemahaman buruh terhadap berbagai peraturan pemerintah serta rendahnya posisi tawar buruh dalam menghadapai kasus PHK. Sebenarnya, PHK bukanlah problem besar kalau kondisi sistem hubungan buruh-pengusaha telah seimbang. ***

Penulis Direktur KALAM Center Bogor (SPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar