KAMI MEMANG BUKAN YANG TERBESAR, TAPI KAMI AKAN BERUSAHA UNTUK MENJADI YANG TERBAIK. SALAM SERIKAT PEGAWAI PINDAD

Kamis, 06 Mei 2010

Mendesak, Penghapusan Outsourching

Momentum Hari Buruh Internasional (May Day) yang dirayakan setiap 1 Mei selalu dimanfaatkan kalangan pekerja atau buruh di Indonesia untuk menyuarakan aspirasi dengan aksi turun ke jalanan. Masih minimnya penghargaan atas jasa-jasa mereka dan tingkat kesejahteraan tergolong marginal jauh dari harapan merupakan tuntutan utama mereka setiap memperingati Hari Buruh.

Upah atau gaji para buruh dan pekerja ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan hidup. Dengan besaran upah minimal yang ditetapkan pemerintah rata-rata Rp 1 juta per bulan, tidak akan mungkin bagi buruh atau pekerja bisa membeli rumah meski dengan skema kredit sekalipun. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak mereka, kalangan pekerja atau buruh harus pontang-panting 'berakrobat' mencari sambilan lain.

Di sisi lain, kalangan pekerja atau buruh hanya dianggap sebagai salah satu alat produksi, bukan sebagai mitra untuk memajukan perusahaan. Akibatnya, para pengusaha hanya merasa berkewajiban memenuhi hak-hak mereka sesuai standar minimal yang ditentukan pemerintah. Kondisi perekonomian di Indonesia yang masih berkutat pada ekonomi biaya tinggi, turut memperparah keadaan nasib mereka.

Salah satu aspirasi krusial yang disuarakan kaum buruh dan pekerja adalah pemerintah diminta mengevaluasi atau mengkaji ulang seluruh peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Tujuannya agar pemerintah bisa menerbitkan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih memihak kepada kaum pekerja atau buruh.

Dhus, amandemen atau revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta implementasi UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus direalisasikan pemerintah dan DPR. Ini mengingat hingga saat ini, kalangan pekerja atau buruh masih dihantui ketidakpastian terkait keberlangsungan pekerjaan mereka. Khususnya masih dilaksanakannya sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) yang mereduksi kesejahteraan dan jaminan sosial mereka. Pemerintah diminta menindak tegas pengusaha yang melanggar ketentuan mengenai kerja kontrak dan praktik pengalihdayaan itu.

Pemerintah juga harus mengkaji ulang seluruh ketentuan mengenai kontrak dan outsourcing dalam peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan yang berlaku saat ini.

Aspirasi apa yang ingin disampaikan para buruh/pekerja menyambut Hari Buruh 2010? Berikut ini petikan wawancara wartawan HU Suara Karya Andrian Noveri dan fotografer M Guntur S dengan Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban.

Setiap memperingati May Day, para buruh dan pekerja selalu menuntut jaminan kesejahteraan dan regulasi ketenagakerjaan. Apa selama ini tidak ada perbaikan nasib mereka?

Kalau dibilang ada perubahan, memang ada perbaikan. Pemerintah sendiri mulai memperhatikan kepentingan buruh/pekerja meski belum signifikan. Ini karena perhatian dan keberpihakan pemerintah baru sebatas wacana. Belum ada langkah nyata yang bisa mendorong peningkatan kesejahteraan buruh dan pekerja. Sementara peraturan dan perundang-undangan yang ada saat ini, belum mengakomodasi kepentingan buruh/pekerja secara memadai dan masih banyak pelanggaran dilakukan oleh pengusaha. Bahkan, penegakan hukum bidang ketenagakerjaan masih lemah, seperti dalam kasus jaminan sosial yang minim dan PHK sepihak oleh pengusaha.

Sebenarnya roadmap macam apa yang disiapkan pemerintah untuk memperbaiki nasib kaum buruh/pekerja?

Selain pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, pemerintah selama ini tidak pernah menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk pengembangan kompetensi dan kesejahteraan pekerja/buruh. Parahnya, pemerintah justru lebih rela mengorbankan nasib pekerja/buruh dengan mengatasnamakan investasi atau kepentingan investor. Karena itu, tak mengherankan jika kemampuan dan tingkat kesejahteraan pekerja/buruh masih jauh dari layak. Apalagi, peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan tidak cukup mengakomodasi kepentingan pekerja/buruh. Parahnya, ini pun kerap disalahgunakan pengusaha sehingga kehidupan pekerja tetap tertekan.

Sebenarnya seperti apa sih kondisi para buruh/pekerja di Indonesia saat ini?

Ketentuan sistem pengupahan/gaji pekerja/buruh belum memenuhi kebutuhan mendasar pekerja beserta keluarganya. Upah/ gaji yang mereka terima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan sandang. Sementara untuk memiliki rumah, pekerja/ buruh harus "berakrobat" setiap hari agar bisa menyisihkan penghasilan untuk cicilan rumah. Tanpa "berakrobat", seumur hidup mereka hanya mampu menyewa rumah kontrakan atau memanfaatkan jasa kos-kosan.
Buruh atau pekerja juga dituntut mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dan layanan kesehatan bagi anak-anaknya. Lalu, waktu pensiun nanti, tidak ada jaminan bahwa pekerja/buruh memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai mati. Ini kan tidak benar!.

Lantas pemerintah harus bagaimana?

Pemerintah harus merealisasikan perbaikan sistem jaminan sosial bagi tenaga kerja. Pemerintah harus menyiapkan regulasi pendukung agar pengusaha bisa memenuhi hak normatif pekerja berupa jaminan sosial yang lebih baik. Namun untuk tahap awal, pemerintah harus meningkatkan pengawasan serta penegakan hukum seluruh peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Saat ini pengusaha, langsung maupun tidak, sudah menciptakan kemiskinan struktural dengan mengenyampingkan pemenuhan upah dan jaminan sosial yang layak bagi pekerja.

Apakah pemerintah, baik di pusat maupun daerah, selama ini memang cenderung mengabaikan kepentingan buruh/pekerja?

Pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan yang dilakukan pengusaha semakin merajalela. Ini karena pengawasan yang dilakukan aparat pengawas pegawai negeri sipil (PPNS), baik di dinas tenaga kerja provinsi dan kabupaten/kota atau di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemennakertrans) terlalu longgar. Ketentuan mengenai kerja kontrak dan outsourcing selalu disalahgunakan oleh pengusaha. Bahkan banyak perusahaan skala besar, termasuk multinasional, memanfaatkan ketentuan magang secara ilegal. Meski berstatus pemagang, mereka tetap bekerja seperti karyawan organik.

Kalau bgitu, apakah sebaiknya outsourcing dihapuskan saja?

Jika kenyataannya sistem kontrak dan outsourcing selalu disalahgunakan, maka pemerintah lebih baik menghapus ketentuan itu dalam peraturan dan perundang-undangan yang ada. Pemerintah harus tegas memberikan sanksi kepada perusahaan atau pengusaha yang jelas-jelas melanggar seluruh aturan bidang ketenagakerjaan. Selama ini penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan sangat lemah. Pengusaha bisa seenaknya saja menetapkan aturan main terkait ketentuan pemerintah mengenai kontrak dan outsourcing serta upah minimum, jaminan sosial, dan lainnya. Parahnya, pemerintah baik di pusat maupun di daerah terkesan membiarkan.
Pembiaran itu sama saja dengan menciptakan kemiskinan secara struktural di kalangan buruh/pekerja. Selama ini, status kontrak dan outsourcing membuat tingkat kesejahteraan buruh tereduksi atau jauh dari kriteria hidup layak (KHL). Kenyataan upah minimal tanpa jaminan sosial dan tunjangan lainnya harus diterima dengan lapang dada oleh buruh. Ini terjadi karena pengusaha menganggap buruh/pekerja sama dengan alat produksi.

Jadi, peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan mendesak harus direvisi agar berpihak pada kepentingan buruh dan pekerja?

Peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan sangat tidak memihak kepada pekerja/buruh. Khususnya terkait jaminan keberlangsungan pekerjaan, kesejahteraan, dan jaminan sosial. Dengan demikian, revisi dan amandemen peraturan yang ada harus dilakukan. Kalau aturannya tidak diubah, para buruh akan terus kerepotan untuk meningkatkan kesejahteran mereka. Para buruh akan terus menuntut kepada pemerintah selama mereka belum bisa menikmati kesejahteraan yang menjadi hak normatifnya.

Sebenarnya bagaimana yang berlaku di negara-negara maju terkait bidamng ketenagakerjaan?

Di negara-negara maju, tak terkecuali di Singapura, Malaysia dan negara-negara tetangga lainnya, pemerintahnya menjadikan masalah kesejahteraan buruh sebagai prioritas. Jadi hapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Bahkan hanya di Indonesia saja, Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap 1 Mei, belum dijadikan hari libur. Di negara-negara lain sudah. Sebut saja Thailand, Vietnam, Singapura, dan lainnya.

Ada masalah lain?

Seharusnya, pemerintah juga melibatkan kalangan buruh/ pekerja dalam menetapkan kebijakan ekonomi makro, termasuk bidang ketenagakerjaan. Padahal seluruh kebijakan ekonomi makro, baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat terkait dengan eksistensi kalangan pekerja dan buruh. Ini membuat kalangan buruh/pekerja menilai bahwa perhatian pemerintah baru sebatas cita-cita dan keinginan serta belum dalam tahap implementasi. Akibatnya, tidak ada perubahan/ perbaikan secara signifikan yang bisa dirasakan kalangan pekerja dan buruh. Hingga saat ini, kaum pekerja/buruh selalu menjadi pihak yang dikorbankan jika terjadi masalah besar di bidang ekonomi. *** (Sumber :Suara Karya)
(SPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar