Kasus Bank Century yang sudah diaudit BPK dan tengah ramai dibahas oleh Pansus Angket DPR serta tengah diusut KPK, mengindikasikan korupsi semakin canggih dan tamak.
Demonstrasi atas kinerja Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu 2 serta mendesak pengungkapan secara tuntas skanda Bank Century, telah berlangsung hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Mereka mengekspresikan kekecewaan dengan berbagai cara. Beberapa cara atau lakon demonstran itu mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang populer dipanggil SBY. Satu di antaranya adalah ikut tampilnya kerbau yang di tubuhnya ada coretan cat berwarna putih bertuliskan “SiBuYa” dalam aksi demontrasi 28 Januari 2010 di Jakarta.
Saking sangat kesalnya, Presiden SBY sampai menyinggung soal demo kerbau itu dalam forum resmi Rapat Kerja Pemerintah di Istana Kepresidenan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (3/2/2010) yang dihadiri Wakil Presiden Boediono, Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution, seluruh menteri dan gubernur se-Indonesia.
Presiden SBY ’curhat’ mengatakan, sebaiknya demo dilakukan dengan mengindahkan norma-norma kepantasan. “Kita bahas juga misalkan, unjuk rasa yang terjadi di negeri Pancasila ini. Di sana ada yang teriak-teriak SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling. Ada juga demo yang bawa kerbau. Ada gambar SBY. Dibilang, SBY malas, badannya besar kayak kerbau. Apakah itu unjuk rasa? Itu nanti kita bahas,” ujar Presiden di Istana Cipanas.
Semula, sebelum Presiden SBY ’curhat’ tentang Kerbau SiBuYa yang ikut demo tersebut, tidak ada media massa yang memublikasikannya secara khusus atau menonjol. Namun, setelah Presiden SBY menyampaikan curahan hatinya, empat hari setelah kerbau itu ikut dibawa demo, hampir semua media massa (pers) memublikasikannya secara luas dan menonjol.
Publik yang sebelumnya tidak peduli dan tidak memahami makna keikutsertaan kerbau dalam aksi unjuk rasa itu, menjadi tahu menafsirkan sesuai pemaknaan Presiden SBY. Yosef Rizal, Koordinator Pemuda Cinta Tanah Air (Pecat), elemen massa yang membawa kerbau tersebut pun, mengatakan, kerbau itu adalah simbol yang punya seribu makna, terserah orang memaknainya. “Kalau SBY memaknai sebagai simbol pemimpin yang gemuk, malas, lamban meski sudah dipecut, itu terserah dia,” ujarnya.
Namun, Yosef Rizal menegaskan, kerbau tersebut bukan ditujukan langsung ke Presiden. Menurutnya, simbol kerbau tersebut ditujukan ke seluruh jajaran pemerintahan SBY, bukan perorangan. Maka menurut Yosef, pengakuan (pemaknaan) SBY tersebut hanyalah taktik belaka. “Itu bagian dari politik kehumasan dan strategi dia. Karena dia kan selalu mengeluh untuk pencitraan,” ujarnya. Menurut Yosef, pernyataan SBY itu berarti dia pemimpin yang cengeng. “Dia mengeluh kepada rakyatnya. Seharusnya kan rakyat yang mengeluh ke pemimpinnya,” tambahnya.
Jadinya, peribahasa mencoreng arang di muka sendiri menjadi tepat menggambarkan reaksi Presiden SBY ketika memaknai adanya tudingan yang menyamakan dirinya seperti kerbau, berbadan besar, malas, dan bodoh, di hadapan jajaran menteri dan gubernur se-Indonesia di Istana Kepresidenan di Cipanas.
Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung mengomentari hal tersebut mengatakan, SBY tak seharusnya membahas soal kerbau dalam forum kenegaraan. Menurut Akbar, ungkapan SBY soal kerbau itu tidak pantas diucapkan seorang presiden. “Memang ungkapan presiden itu ada alasannya. Tapi sebenarnya tidak pantas hal itu diucapkan presiden kita,” kata mantan Ketua DPR ini. Menurut Akbar, SBY sebenarnya tidak lamban, hanya dalam mengambil keputusan memerlukan banyak masukan.
Pengamat politik UI Boni Hargens di Jakarta, Rabu (3/2) mengatakan Presiden SBY harus memahami urgensi aksi demo yang membawa kerbau sebagai bentuk aspirasi rakyat. Presiden sangat melankolis telah ‘curhat’ isu kerbau dalam rapat formal. “Sebagai kepala negara, SBY tak tepat mencurahkan perasaan pribadi kepada seluruh rakyat. Terlebih dalam demokrasi, pernyataan SBY melenceng dari esensi aksi unjuk rasa itu sendiri. Ia harus paham urgensinya mengapa rakyat sampai membawa simbol kerbau. Artinya, rakyat menganggap pemerintahan SBY-Boediono sangat lamban, dan malas. Kehadiran kerbau dalam aksi demo, bukan tanpa alasan,” ujar Boni.
Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie (Partai Demokrat) ikut merasa terluka dengan demo kerbau itu. “Kita sebagai orang timur saja merasa dilukai, kita ini orang timur yang mengedepankan sopan santun, akhlak, etika. Apa lagi kita negara religius, negara yang mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (3/2). Marzuki Alie mengajak agar masyarakat dapat berpikir jernih yang dimaksud demo itu seperti apa.
Tidak sekali ini saja Presiden SBY dianggap ’curhat’ kepada rakyat. Bahkan bukan rahasia umum lagi bagi publik bahwa SBY sering memosisikan diri teraniaya, difitnah dan lain sebagainya, sebagai bagian politik pencitraan. Selama ini, Presiden SBY amat berhasil meningkatkan popularitas dengan gaya melankolis teraniaya serta mengumbar janji, wacana dan persepsi.
Termasuk dalam hal yang berkaitan dengan kasus Bank Century. Presiden SBY beberapa kali, dalam berbagai forum, menyebut dirinya dan Partai Demokrat sedang difitnah dengan dugaan menerima kucuran dana talangan Bank Century. Bahkan pengusutan kasus penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan kebijakan (keputusan) dana talangan Bank Century tersebut dikesankannya telah sengaja dikriminalisasi.
Hal ini tentu telah membuat para koruptor yang diduga terlibat dalam skandal Bank Century, yang diyakini banyak pihak telah bermain secara canggih, semakin yakin (berharap) bahwa kasus Bank Century ini tidak akan terungkap. Juga memberi nafas segar kepada kelompok gerakan corruptor fight back.
Malah, baik BPK dan KPK maupun Pansus Angket (DPR) Bank Century tampaknya bisa dianggap menjadi lembaga yang mengkriminalisasi kebijakan dana talangan Bank Century tersebut.
Korupsi Makin Canggih
Memang, jika diamati, belum terindikasi dan belum terungkap, adanya keterlibatan otoritas politik dalam kasus Bank Century. Namun, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Apalagi, para koruptor sudah semakin canggih dalam melakukan aksinya. Sehingga korupsi masih merajalela, kendati KPK sudah diberi wewenang luar biasa untuk memberantasnya.
Jika ditanya, adakah proyek pemerintah yang sudah bersih dari korupsi? Atau, sudah adakah instansi pemerintah yang sudah bersih dari korupsi? Mayoritas rakyat merasakan dan diyakini akan menjawab, belum! Belum ada instansi dan proyek pemerintah yang bebas dari korupsi. Baik korupsi dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Mengurus NPWP saja masih ada yang dimintai uang!
Kasus korupsi yang terbongkar masih sangat kecil. Itu pun korupsi yang dilakukan dengan kurang canggih. Seperti, korupsi pengadaan barang di KPU dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menjebloskan mantan Ketua KPU Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA dan Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS. Kedua guru besar itu memang terlihat masih ’sangat bodoh’ dalam aksi menutupi tindak pidana korupsi. Bayangkan, mereka menyuruh mencatat dan membuat tanda terima. Akibatnya, keduanya sangat mudah terbukti korupsi dan harus meringkuk dipenjara.
Sementara, para koruptor lain yang tersebar di berbagai instansi dan sudah semakin canggih mengantisipasi (menghilangkan jejak) untuk tidak terbukti menerima suap atau korupsi, masih bebas dengan berbagai kemewahan. Sebab, tidak ada tanda terima dan tidak ada saksi. Bahkan, dengan berbagai cara dikeluarkan berbagai kebijakan untuk melempangkan korupsi.
Gejala kecanggihan dan rekayasa korupsi juga terkesan dalam kasus Bank Century. Dari hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan kepada DPR saja sebenarnya, bagi publik, sudah menunjukkan beberapa bukti adanya rekayasa, penggelapan atau perampokan (istilah mantan Wapres Jusuf Kalla) dalam kasus dana talangan Bank Century.
Dalam kasus Bank Century, BPK dan Pansus Angket DPR mengungkap dugaan pelanggaran yang dilakukan mulai dari proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI, pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), penggunaan dana FPJP dan Penyertaan Modal Sementara (PMS), serta praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak terkait.
Dalam hal proses merger, BI tidak menerapkan aturan dan persyaratan dalam pelaksanaan akuisisi dan merger sesuai SK Direksi BI serta Peraturan BI (PBI). Setelah merger, BI juga tidak bertindak tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century sejak 2005-2008.
BI membiarkan Century melakukan rekayasa akuntansi sehingga seolah-olah Century masih memiliki kecukupan modal atau CAR dengan cara membiarkan Century melanggar PBI, seperti pelanggaran devisa neto dan pelanggaran limit pemberian kredit melampaui jumlah maksimum. BI baru bersikap tegas saat Century telah ditangani LPS.
Kemudian, menurut hasil audit BPK, BI sengaja melakukan perubahan persyaratan CAR dalam peraturan BI (PBI) untuk merekayasa agar Bank Century dapat memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Pada saat pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53 persen. Hal ini sebenarnya melanggar ketentuan PBI No 10/30/PBI/2008.
Lalu, saat penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap, dan mutakhir mengenai kondisi Bank Century kepada KSSK. Menurut BPK, dalam penetapannya kemudian, BI dan juga KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik bagi Bank Century. BPK menilai, keputusan penetapan ini lebih bersifat judgement dari pejabat BI, termasuk KSSK.
BPK juga berpendapat bahwa penarikan dana oleh pihak terkait dari Bank Century melanggar PBI yang mengatur bahwa bank berstatus “dalam pengawasan khusus” dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak lain yang ditetapkan BI, kecuali telah memperoleh persetujuan BI.
Kemudian, sebagian aliran dana talangan Bank Century yang totalnya Rp6,7 triliun diduga mengalir ke partai politik dan pasangan Capres-Cawapres tertentu. Tentang aliran dana ini, sudah dipastikan akan sulit dibuktikan. Kecuali penerima dana talangan tersebut ’masih bodoh’ atau belum canggih melakukan korupsi.
Lalu, hingga kini, semua temuan BPK dan dugaan aliran dana tersebut dengan berbagai cara dan alasan dimentahkan pihak-pihak terkait. Bahkan, upaya BPK, KPK dan Pansus Angket DPR telah dianggap pula sebagai upaya kriminalisasi kebijakan. Apakah hal ini sebagai suatu bentuk kecanggihan korupsi? BPK, KPK dan Pansus Angket Bank Century ditantang untuk membuktikannya dengan tetap menganut asas praduga tidak bersalah. BI/TSL (Berita Indonesia 74)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar