Yuddy Chrisnandi *)
Dosen Universitas Nasional, Jakarta
Keputusan menunda pemberlakuan Kepmenaker No.78 dan 111/2001, tampaknya tidak mengurangi kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan sosial. Setelah sejumlah aksi buruh di berbagai kota,melumpuhkan kegiatan masyarakat mulai reda, keputusan pemerintah menaikan harga BBM justeru meningkatkan kecemasan masyarakat. Pasalnya, baik aksi buruh maupun kenaikan BBM menciptakan rasa takut. Masih terlintas dipelupuk mata, saat aksi damai buruh di Bandung tiba-tiba berubah menjadi sangat anarkis yang berakibat puluhan kendaraan terbakar dan rusaknya gedung pemerintahan.
Kendatipun kemudian di sejumlah wilayah memenuhi tuntutan para buruh, namun tampaknya masih tersimpan rasa saling ketidakpuasan. Sementara itu, akibat pemberlakuan harga baru BBM yang terkesan mendadak setelah tertunda, pemogokan supir angkutan melanda sejumlah wilayah di tanah air. Tidak satupun dapat menjamin bahwa skala aksi sosial yang masih kecil tidak berubah lebih luas lagi dalam waktu mendatang. Situasi demikian tidak menciptakan rasa tenteram ditengah masyarakat, walaupun subjek dari kerisauan tersebut adalah masyarakat sendiri.
Setelah sekian lama para pekerja tidak melancarkan aksi besar-besaran, seketika mereka muncul bersamaan dengan kondisi kehidupan nasional yang terpuruk. Perekonomian nasional yang tengah berada diambang batas kelayakan dan kemelut politik yang belum berakhir merupakan kondisi pendorong instabilitas sosial. Protes sosial , gerakan sosial hingga kerusuhan sosial sangat mungkin terjadi dalam situasi semacam ini. Ketidakcermatan pemerintah mengambil keputusan yang tepat adalah pemicu segala kekhawatiran menjadi nyata. Rakyat kecil, yang terdiri dari para pekerja pabrik, buruh kasar, supir angkutan, pedagang eceran, para petani hingga nelayan adalah mereka yang terkena dampak langsung dari setiap kebijakan ekonomi nasional. Masalah-masalah yang berkaitan dengan upah dan kenaikan tarif pelayanan publik seperti BBM atau Listrik sudah dipastikan akan menambah kesulitan mereka. Maka kehadiran gerakan buruh pada barisan terdepan protes sosial, dapat dipandang mewakili jeritan masyarakat tertindas lainnya. Secara sosiologis, komunitas buruh pekerja pabrik relatif lebih terorganisir untuk mengkonsolidasikan diri menjadi sebuah kekuatan. Kesamaan nasib dan keberadaannya, mempermudah terciptanya solidaritas diantara mereka. Tidak mengherankan bila merekalah yang menjadi pioneer sekaligus juru bicara rakyat yang menderita saat ini.
Namun persoalannya akan berbeda, pada saat gerakan memperjuangkan hak-hak mereka disusupi oleh perjuangan ideologis yang menjadikan buruh sebagai pusat gerakan perubahan sosial. Dengannya, gerakan buruh yang dilancarkan melalui aksi-aksi protes dan pemogokan, hanya merupakan upaya conditioning untuk membangkitkan suatu perlawanan sosial. Setiap kerawanan yang muncul ditengah masyarakat akan dijadikan sarana aksi sosial yang dapat mempercepat perjuangan sosial secara ideologis. Berbagai kebijakan pemerintah akhir-akhir ini turut andil dalam menyuburkan munculnya aksi sosial yang dimotori oleh gerakan buruh. Sekalipun terdapat nuansa yang bersifat politis pada rangkaian tindakan aksi para buruh, namun hal itu tidak lebih berbahaya dari adanya latar belakang ideologis didalamnya.
Bangkitnya Komunisme
Cukup beralasan yang berpendapat bahwa gerakan aksi buruh akhir-akhir ini lebih bermuatan politis dibandingkan kepentingan persoalan perburuhan. Argumentasinya, kemelut politik mutakhir yang mempertentangkan kekuasaan Presiden, memerlukan situasi tertentu sebagai pembenaran dilakukannya keadaan darurat. Rencana diberlakukannya Kepmenaker 150/2001, dianggap momentum yang cukup memadai untuk menciptakan kekisruhan. Begitupun kenaikan harga BBM yang hampir bersamaan, merupakan peluang yang kondusif membakar gejolak sosial. Kedua peritiwa itu, dapat dikelola secara politis dan dimanfaatkan bagi tujuan politik tertentu. Apalagi peristiwa tersebut diikuti oleh aksi-aksi anarkis yang keluar dari konteks isue yang ada. Pendapat ini juga didukung fakta serangkaian pemogokan supir-supir angkutan umum yang ditenggarai adanya peran provokator, yang memicu kekisruhan di sejumlah tempat.
Yang lain berpendapat bahwa gerakan aksi buruh merupakan kebangkitan kembali paham Marxisme, yang lazim disebut komunis. Suatu kekuatan yang masih menjadi momok bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pasalnya, di era pemerintahan saat ini, banyak pihak menganggap organisasi yang bertendensi komunis dan tokohnya, mesra berhubungan dengan kekuasaan sekarang. Hal itu memperkuat dugaan adanya kerjasama politik yang saling memanfaatkan keuntungan diantara mereka. Bahkan, tindakan sekelompok masyarakat yang berupaya memerangi aktivitas yang diduga berpaham komunis, mendapat hambatan dari pemerintah sendiri. Kenyataan itu dapat memaklumkan perkembangan paham komunis yang mulai bangkit membangun kekuatannya dewasa ini. Bukan mustahil, gerakan aksi buruh merupakan bagian dari aktivitas tersebut.
Terlepas dari dugaan diatas, dipahami bahwa buruh merupakan kekuatan utama yang menjadi pusat perjuangan kaum Marxis. Adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels , yang pada tahun 1848 menulis buku berjudul "Manifesto Komunis". Didalamnya membahas perlawanan kaum buruh menghadapi dominasi kaum borjuis. Perlawanan tersebut adalah mutlak untuk mendapatkan hak-hak buruh yang telah dirampas oleh para pemilik modal. Pada tahun 1867, didalam kehidupan yang sangat miskin di kota London, Marx melalui bantuan Engels menerbitkan jilid pertama dari tiga jilid Das Kapital. Buku itulah yang dikemudian hari dianggap sebagai kitab suci kaum buruh penganut aliran Marxis. Kematiannya, semakin membangkitkan ajaran Marxisme tentang perjuangan kaum buruh revolusioner dalam menghancurkan kaum borjuis-capitalist. Konsep revolusi sosial, kekuasaan kaum proletariat dan Negara tanpa kelas adalah sebagaian rangkaian pemikiran Marxisme yang menempatkan kaum buruh sebagai pelaku utama perubahan.
Marxisme mengajarkan pentingnya kesadaran kelas pekerja yang tertindas untuk bangkit menuntut hak mereka yang selama ini hidup miskin. Digambarkannya, para keluarga buruh yang hidup dalam rumah sepetak, yang makan hanya sepotong roti telah diperas tenaganya tanpa perhatian dari para majikan. Sementara para majikan / pemilik modal, hidup mewah, menikmati keuntungan dari hasil jerih payah tenaga buruh. Kondisi ini dianggap tidak adil dan membuat jurang pemisah yang dalam. Ketidakpedulian para pemilik modal terhadap kondisi kehidupan kaum buruh adalah pemicu konflik kelas yang berlanjut pada gerakan revolusioner. Pada akhirnya revolusi sosial yang dimotori kaum buruh akan melenyapkan rezim kekuasaan lama dan beralih ketangan mereka dalam wujud Negara tanpa kelas atau komunisme dengan sistem ekonomi sosialis.
Di zaman modern seperti sekarang, dimana negara-negara Komunis penganut paham Marxis telah runtuh, kebangkitan kembali ajaran ini memang banyak diragukan orang. Kegagalan sistem ekonomi sosialis dan sistem politik yang sentralistis, terbukti tidak membawa kemajuan bagi perkembangan kesejahteraan rakyat Hal itu menjadi penyebab ditinggalkannya ajaran Marxisme disejumlah negara, yang berpaling pada liberalisme dan sistem ekonomi pasar bebas atau kapitalis. Situasi ini berlangsung di sejumlah Negara yang secara historis telah melampaui proses transformasi sejarah yang panjang. Pada akhirnya menemukan kembali antitesa dari hasil revolusionernya, yaitu liberalisme ekonomi. Namun kondisi seperti ini tidak dapat disamakan pada negara-negara yang belum melampaui materialisme sejarah seperti tadi. Indonesia dan beberapa negara berkembang yang relatif belum lama menjadi negara industri, masih mungkin masyarakatnya terobsesi dan
memandang ideal gagasan Marxisme.
Membunuh Marxisme?
Berbagai isue buruh seperti upah yang rendah, kondisi kerja yang buruk, hubungan industrial yang tidak seimbang, pengingkaran hak-hak pekerja , merupakan sebagian kecil dari persoalan dihadapi para buruh kita. Wajar saja, bila stabilitas emosional mereka sangat tergantung dari sejauhmana kebutuhan hidupnya memadai. Ketika penghasilan mereka mulai terhimpit oleh kenaikan harga kebutuhan hidup dan minimnya penghasilan, maka mereka mudah untuk marah. Begitupun ketika haknya yang terbatas diabaikan atau diambil oleh para majikan melalui suatu keputusan sepihak, mereka akan berontak. Lebih dari itu, mereka akan melakukan perlawanan saat perjuangannya berhadapan dengan kekerasan.
Bagi kaum buruh, setiap kebijakan yang memberikan perhatian dan keberpihakan kepadanya tidak rela untuk dirubah. Sehingga, Kepmenaker nomor 78 dan 111 tahun 2001 yang merevisi Kepmenaker nomor 150 tahun 2000 dianggap sebagai pengambilan hak buruh. Kebijakan pemerintah seperti itu jelas-jelas membangkitkan perlawanan buruh karena menyangkut hak yang diambil paksa Dengan Kepmenaker nomor 150 tahun 2000, jaminan mendapatkan uang penghargaan, pesangon karena PHK dan ganti kerugian bekerja , harus diberikan kepada buruh sekalipun perusahaan dalam kerugian atau kebangkrutan. Bahkan buruh yang berhenti atas permintaan sendiripun mendapatkan pembayaran. Dengan peraturan seperti itu , sudah tentu melindungi kedudukan kaum buruh, yang tidak akan rela direvisi kembali.
Tampaknya pemerintah tidak cermat dalam mengambil keputusan pemberlakuan Kepmenaker nomor 150 tahun 2000, begitupun sudah terlambat merevisinya dengan Kepmenaker nomor 78 dan 111 tahun 2001. Kondisi perekonomian Indonesia pasca peralihan kekuasaan tahun 1998, hingga kini belum memungkinkan Industri memberikan iklim ideal bagi kehidupan pekerjanya. Kelesuan pasar dan kesulitan keuangan adalah salah satu alasan logis ketidakmampuan para pengusaha melaksanakan Kepmenaker nomor 150 tahun 2000.
Seyogyanya, pemberlakuan keputusan tersebut menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi nasional dan kekuatan pelaku industri. Sehingga tidak semata untuk mencari popularitas dengan menuai resiko yang berat. Keberatan para pengusaha itulah yang diakomodir oleh pemerintah dalam revisi peraturan barunya, yang pada sisi lain mengorbankan kepentingan kaum buruh. Pertikaian antara kaum buruh dengan pemerintah yang membela kepentingan pemilik modal inilah yang menjadi bibit subur tumbuhnya ajaran Marxisme.
Dalam hal ini, pemerintah diidentikan dengan kekuasaan kapitalis yang berseberangan dengan kaum buruh. Situasi itu diperburuk oleh kehidupan kaum buruh Indonesia yang sangat minimal. Upah minimum regional yang diterima tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya secara memadai. Kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok semakin menghimpit kehidupan mereka. Pada situasi yang serba sulit itulah keberadaan Kepmenaker yang lama sangat dibutuhkan. Dalam kemiskinan dan perasaan tertindas oleh adanya revisi keputusan, eksistensi pemikiran Marxisme dapat diterima. Ajaran Marxisme secara nyata menempatkan keberpihakannya kepada kaum buruh dalam situasi dan alasan apapun. Ketidakpuasan, kemarahan hingga tindakan kekerasan yang dilakukan kaum buruh dibenarkan oleh ajaran ini. Dalam upaya mencapai tujuannya, Marxisme tidak sekedar memperjuangkan hak-hak buruh, lebih dari itu ingin mewujudkan kekuasaan yang baru secara revolusioner. Dari rangkaian diatas, terdapat simbiosis mutualistis antara kepentingan politik jangka pendek dengan kepentingan ideologis yang lebih substansial. Keadaan seperti ini, tentunya merisaukan kita yang tidak sepaham dengannya. Namun realitanya, sangat sulit membunuh Marxisme dalam suasana kemiskinan dan keterpurukan ekonomi yang tengah kita hadapi sekarang. Hanya ada satu jalan yang tidak mudah : Mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat! Insya Allah, ia akan terbunuh dengan sendirinya tanpa bersusah payah menghadapinya.
*)Penulis juga adalah Dosen Univ.Trisakti, mhs.S-3 Ilmu Politik
Univ.Indonesia, Partisipan Forum Democratic Leaders Asia Pacific dll.
Jl.Tebet Barat X/21 Jakarta 12810, Ph.62-21-7984164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar