KAMI MEMANG BUKAN YANG TERBESAR, TAPI KAMI AKAN BERUSAHA UNTUK MENJADI YANG TERBAIK. SALAM SERIKAT PEGAWAI PINDAD

Minggu, 25 April 2010

Pukulan Telak bagi MA

KREDIBILITAS dan wibawa Mahkamah Agung sebagai institusi hukum tertinggi di negeri ini mencapai titik nadir. Penyebabnya bukan dari luar, melainkan dari dalam. Mahkamah Agung telah menista dirinya sendiri.

Di kala semua lembaga secara serentak mengeroyok makelar hukum, terkesan MA melindungi para mafioso tersebut. Kasus Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang mendapat upeti Rp50 juta untuk membebaskan Gayus Tambunan merupakan tamparan keras terhadap MA.

Ketika kasus Gayus merebak, MA pun sigap memeriksa majelis hakim perkara Gayus. Hanya dua hari, MA langsung mengumumkan majelis hakim bersih. Alasannya, vonis dijatuhkan murni karena pertimbangan hukum.

Namun, publik tak mudah dikecoh. Mana ada mafia hukum bermain solo tanpa melibatkan jejaring di polisi, jaksa, dan hakim pengadilan?

Kecurigaan pun terbukti. Komisi Yudisial mengumumkan Muhtadi Asnun, ketua majelis hakim yang mengadili perkara Gayus, menerima sogok Rp50 juta sehari menjelang vonis. Meski Asnun telah mengaku, Komisi Yudisial tak berhenti memeriksa. Dua anggota majelis hakim lainnya dibidik. Sebab tidak masuk akal hakim hanya menerima Rp50 juta. Bukankah Gayus 'bernyanyi' telah memberikan uang masing-masing Rp5 miliar kepada penyidik, jaksa, hakim, dan pengacara?

Kasus upeti hakim Pengadilan Negeri Tangerang itu merupakan pukulan telak bagi MA. Juga menambah panjang daftar aib MA. Ternyata banyak hakim yang punya hobi membebaskan terdakwa korupsi.

ICW telah melaporkan ke MA sekitar 106 hakim yang punya hobi melepaskan koruptor dari jerat hukum. Bahkan seorang hakim tercatat membebaskan 35 perkara korupsi. Luar biasa.

Tidak hanya itu. Di tingkat MA, ada juga hakim agung yang punya kegemaran memberi korting hukuman bagi terpidana korupsi. Artalyta Suryani, misalnya. Penyuap jaksa Urip Tri Gunawan itu mendapat diskonto hukuman enam bulan dari lima tahun menjadi 4,5 tahun. Pengurangan hukuman juga diterima Aulia Pohan dan kawan-kawan dalam perkara aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp100 miliar.

Komisi Yudisial menerima banyak laporan warga mengenai mafia hukum yang melilit MA. Namun, para hakim agung mengabaikan panggilan Komisi Yudisial untuk klarifikasi. Komisi Yudisial lebih mengapresiasi hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi karena mematuhi panggilan.

Sikap MA sebagai lembaga peradilan tertinggi mengecewakan. Mengecewakan karena gelora pemberantasan korupsi belum menggetarkan tembok-tembok nurani MA. Publik pun bertanya-tanya, apakah benar MA memeriksa para hakim yang mengadili perkara Gayus? Ataukah pura-pura memeriksa kemudian mengatakan tidak ada suap, untuk menjaga wibawa hakim, melindungi korps meski salah?

Sejujurnya kita prihatin dengan sikap MA. MA seharusnya tidak menjadi tempat berlindung hakim-hakim jahat. Juga tidak semestinya MA menjadi perisai bagi hakim-hakim yang senang menggadaikan sumpah mereka.

Kita ingin MA menjadi menara keadilan yang memancarkan suar kebenaran, bukan untuk melindungi borok hakim. Mediaindonesia.com (SPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar