KAMI MEMANG BUKAN YANG TERBESAR, TAPI KAMI AKAN BERUSAHA UNTUK MENJADI YANG TERBAIK. SALAM SERIKAT PEGAWAI PINDAD

Minggu, 25 April 2010

Markus di Tubuh Penegak Hukum

Oleh Marwan Mas

Sinyal begitu bobroknya penegakan hukum di negeri ini sudah bukan rahasia lagi di mata rakyat. Sudah begitu lama mafia hukum menggerogoti institusi penegak hukum, tetapi sangat sulit untuk dibongkar dan diberantas. Salah satu penyebabnya, boleh jadi karena ada orang dalam yang melindungi, bahkan memeliharanya.

Karena itu, pernyataan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Polisi Susno Duadji, tentang dugaan keterlibatan petinggi Polri dan petugas pajak sebagai makelar kasus (markus) dalam penggelapan pajak, makin membuat terang adanya markus dan mafia hukum di tubuh kepolisian.

Besarnya dana yang berkaitan dengan urusan suap yang mencapai Rp 25 miliar-dalam perkembangan kasusnya menjadi 28 miliar-yang tersimpan di rekening Gayus Tambunan, seorang pegawai golongan IIIa di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, berarti cukup besar pula uang pajak yang mestinya masuk ke kas negara. Kita sayangkan, dalam perjalanan kasus ini, Gayus divonis bebas di pengadilan, bahkan saat penyidikan dan penuntutan tidak pernah ditahan.

Ketika kasus Gayus disidik di kepolisian, lalu penuntutan di kejaksaan, dan pemeriksaan di pengadilan, publik nyaris tidak mengetahui ada permufakatan di antara para penegak hukum. Kolusi di antara para markus baru terungkap setelah Susno membeberkannya ke ruang publik. Dalam penanganan kasus Gayus, menurut Susno, dilingkupi dengan markus yang melibatkan penyidik dan dua perwira tinggi Polri.

Susno tentu saja tidak asal menuduh. Sebab, belakangan Kepala Polri secara terang menegaskan memang tampak ada kejanggalan. Akibatnya, dua orang penyidik ditersangkakan dan ditahan. Kapolda Lampung Brigjen Edmond Ilyas yang pernah menangani kasus Gayus Tambunan pun dicopot dari jabatannya agar bisa berkonsentrasi mengikuti pemeriksaan di Mabes Polri.

Kesiagaan Lemah

Meski Gayus dapat dibawa kembali ke Indonesia setelah satu minggu bersembunyi di Singapura, tetapi kaburnya Gayus pada Rabu, 24 Maret, telah mencoreng kesiagaan Polri. Padahal, Susno sudah ribut sejak 20 Maret. Lebih menggelikan lagi, polisi baru minta pencekalan pada 26 Maret. Apakah ini yang disebut profesional? Begitu lamban melakukan langkah antisipatif terhadap suatu perkara yang seharusnya diseriusi karena mendapat perhatian publik.

Lemahnya kesiagaan dalam mengantisipasi Gayus yang sudah menjadi sorotan publik lantaran petinggi Polri hanya sibuk bagaimana "membungkam" Susno dengan menjadikannya tersangka agar tidak bertambah berani mengungkap kebobrokan Polri yang boleh jadi lebih mencengangkan. Kita tentu kecewa atas kinerja yang tidak profesional dalam mengusut mafia pajak yang menggegerkan ini.

Selalu terlambat sudah menjadi satu ciri khas polisi kita dalam menangani kasus-kasus korupsi atau mafia hukum. Ini amat berbeda dengan tatkala menangani kasus terorisme, yang begitu sigap dan terukur, tetapi mati kutu saat berhadapan dengan koruptor dan mafia hukum.

Lantas apa yang salah dalam pembinaan dan peningkatan profesionalitas Polri? Polri terkesan selalu terjebak pada kepentingan sesaat yang sekadar menjaga citra agar selalu baik di mata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka bukan melakukan gebrakan memberantas korupsi dan mafia hukum yang menjadi salah satu janji Presiden untuk diberantas.

Berbagai pengamat menilai kasus Gayus menjadi momentum untuk membongkar markus di tubuh penegak hukum, Ditjen Pajak, dan institusi lain yang potensial mengemplang uang negara. Harapan ini hanya selalu jadi bayang-bayang karena sudah berulang kali kita kehilangan momentum seperti ini, tetapi selalu berlalu begitu saja. Itu semua lantaran tidak ada keseriusan atau sengaja didesain dengan suatu kasus baru untuk mengalihkan perhatian publik.

Rakyat berharap kasus Gayus benar-benar dijadikan momentum terakhir untuk membersihkan semua penghalang pemberantasan korupsi (suap, sogok, markus, ataupun mafia hukum) di semua institusi penegak hukum. Apalagi kasus Gayus melibatkan banyak pihak, ada pegawai pajak, konsultan pajak, pengusaha, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Perlu Keseriusan

Meski markus amat susah dibuktikan, karena bekerja di ruang yang amat sulit dijangkau, tetapi bukan berarti tidak bisa diberantas. Itu sangat bergantung pada kemauan dan keseriusan mengoreksi diri. Markus-lah salah satu aspek yang membuat citra dan wibawa penegak hukum kita makin terpuruk di mata rakyat. Pembusukan hukum bisa jadi akan makin menggila apabila markus, mafia hukum, dan kasus Century tidak dituntaskan.

Perkara suap, korupsi, dan mafia hukum harus diseriusi, baik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun Kementerian Keuangan (Dirjen Pajak). Apa yang diungkap Susno hendaknya menjadi pemicu bagi semua lembaga penegak hukum untuk introspeksi dan bersih-bersih diri. Jadi, bukan malah direspons sinis dengan cara melempar isu "maling teriak maling". Kalau Susno Duadji "maling", mana berani dia melempar isu markus kepada kawannya sendiri?

Tidak tuntasnya penanganan kasus perpajakan bisa jadi merembet pada kredibilitas Presiden SBY yang kita ketahui sangat menjaga "citranya" di depan publik. Laporan Susno patut diyakini akan mengungkap hal yang lebih besar seperti diduga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu akan ada kasus korupsi yang jauh lebih besar terungkap. Biasanya pengakuan pencuri kecil bisa digunakan untuk menangkap pencuri yang lebih besar.

Sukses-tidaknya pemberantasan markus sangat bergantung pada keberanian petinggi hukum mereformasi diri. Hal ini selalu digaungkan, tetapi dalam realitasnya masih jauh panggang dari api. Kalau Presiden SBY juga tidak serius memelopori pembersihan aparatnya, upaya memberangus markus hanya akan mati suri di tengah harapan publik agar semuanya terungkap tanpa ada yang dilindungi.

Sudah saatnya pemerintah mengembangkan budaya antikorupsi, misalnya, menempatkan orang-orang pilihan yang bersih dan berani, serta merelakan kolega pejabat yang koruptif untuk dihukum sebagai wujud keteladanan kepada masyarakat. Di sinilah titik krusial ketika sikap antikorupsi belum membudaya dalam tubuh penegak hukum. Orang tidak lagi takut atau malu manakala dia melakukan korupsi atau menyuburkan mafia hukum. ***

Penulis adalah dosen ilmu hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSKon) Universitas 45, Makassar
(SPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar