By: daniri
REPUBLIKA
Senin, 03 Mei 2010
Outsourcing akan secepatnya dihapuskan dari negeri ini! Begitulah ingar-bingar janji kampanye di depan buruh, termasuk pada kampanye pemilihan presiden, parlemen, dan kepala daerah. Apalagi, saat peringatan Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei.
Buruh outsourcing selalu menjadi perhatian sekaligus korban kampanye manis. Namun, usai kampanye, bagai habis manis, sepah dibuang. “Langkah menteri tenaga kerja dan transmigrasi dalam menyempurnakan aturan outsourcing tak menyelesaikan masalah. Bahkan, cenderung sebagai langkah yang tidak pro terhadap buruh,” kata Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Sofian Abdul Latif, baru-baru ini.
Dia mengatakan, konsep outsourcing di Indonesia harus dihapuskan. Seharusnya, pemerintah tidak lagi mengakomodasi aturan tentang outsourcing . ” Outsourcing adalah bentuk eksploitasi terhadap manusia. Manusia dianggap sebagai komoditas,” ujarnya.
Pemerintah seharusnya lebih mengedepankan revisi terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan melakukan revisi terhadap UU tersebut, diharapkan dapat menyelesaikan masalah outsourcing pada akar rumputnya.
Selama UU Ketenagakerjaan tersebut masih berlaku, buruh tak punya masa depan. Padahal, seiring dengan kemajuan zaman, biaya hidup yang harus ditanggung oleh para buruh juga semakin tinggi.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Syukur Sarto, berpendapat, pelaksanaan outsourcing oleh pengusaha di daerah kerap melanggar aturan pemerintah. Oleh karena itu, dia berharap, pengawasan terhadap pelaksanaan itu harus lebih digalakkan.
Dibutuhkan
Lain buruh, lain pula pengusaha dalam memandang outsourcing . Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memandang sistem oursourcing masih dibutuhkan saat ini. Karena itu, sistem ini belum dapat dihapuskan sepenuhnya dari aturan ketenagakerjaan yang ada.
Menurut Sekretaris Umum Apindo, Suryadi Sasmita, aturan mengenai outsourcing , yaitu Undang-Undang nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, belum jelas. Karena itu, pihaknya mengajukan revisi untuk regulasi tersebut. ”Sebetulnya, hanya beberapa pasal yang diubah. Salah satunya outsourcing diperjelas, mana yang boleh dan mana yang tidak,” jelasnya.
Suryadi menjelaskan, dari sudut pandang pengusaha, beberapa bidang perlu menggunakan jasa outsourcing karena membutuhhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Namun, tidak sedikit pula jenis outsourcing yang tidak boleh digunakan.
”Misalnya, outsourcing cleaning service yang punya know how . Mereka dapat Jamsostek, punya dana pensiun, nah itu boleh. Yang tidak boleh, misalnya, sekretaris yang kontrak,” tuturnya. Selain outsourcing , Suryadi juga mengatakan pihaknya mengusulkan perubahan pasal mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di UU tersebut. Selama ini, pengusaha merasa UU itu sangat menyulitkan untuk memecat pegawai yang merugikan perusahaan.
Jaminan sosial
Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial, Said Iqbal, mengatakan, para pekerja outsourcing dapat memperoleh kesejahteraan dengan berlakunya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
“Para pekerja mendapat jaminan ketika menganggur, jaminan hari tua, dan jaminan kematian,” tuturnya.
Dengan pemberlakuan UU SJSN tersebut, para pekerja outsourcing akan mendapatkan jaminan yang selama ini tak pernah mereka dapatkan. Saat ini, para pekerja outsourcing , yang umumnya pekerja formal, tak termasuk dalam anggota Jamsostek. Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah segera melaksanakan UU tersebut.
Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, idealnya seorang pekerja outsourcing mempunyai upah kerja yang lebih tinggi daripada pekerja biasa. Hal itu terjadi karena pekerja outsourcing adalah tenaga terampil dan dikontrak untuk waktu yang terbatas.
“Idealnya, outsourcing itu perjanjian kerja untuk waktu tertentu berbeda. Paling tidak, harus ada kontrak jelas, pengawasan, gaji berbeda yang lebih tinggi karena waktunya (kontrak) terbatas,” terang Muhaimin.
Dia menjelaskan, undang-undang tidak mengatur perihal pengupahan terhadap para pekerja outsourcing . “Undang-undang hanya mengatur sangat umum terkait outsourcing ,” ujarnya.
Dia berjanji, dalam waktu dekat, akan melakukan penyempurnaan terkait peraturan outsourcing . Penyempurnaan akan dilakukan dengan membuat peraturan menteri (permen) dan keputusan menteri (kepmen) untuk merevisi kepmen dan permen sebelumnya. “Penyempurnaan seharusnya dengan undang-undang. Kalau bisa diatasi dengan permen untuk jangka pendek,” terangnya.
Tak mudah
Namun, fenomena outsourcing tak bisa dengan mudah dihapuskan. Outsourcing saat ini sudah menjadi tren dalam kehidupan perindustrian di dunia, termasuk Indonesia. Yang penting, sambung Muhaimin, sistem pengelolaan outsourcing harus diperbaiki. “Para penyelenggara ( outsourcing ) harus diatur lebih baik.”
Oleh karena itu, pihaknya sedang mengkaji peraturan perundang-undangan terkait outsourcing dengan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Namun, Muhaimin menegaskan, penyempurnaan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut adalah tujuan jangka panjang. Untuk tujuan jangka pendek, dia menganggap permen dan kepmen sudah cukup. Selain itu, pihaknya juga akan menggiatkan pengawasan terhadap penggunaan tenaga outsourcing di daerah.
” Updating data dari kontrak kerja yang bersifat outsourcing akan terus dilakukan,” ujarnya. Silang pendapat penggunaan tenaga oursourcing seperti tidak ada habisnya. Forum Tripartit (pemerintah, pengusaha, dan pekerja) kini hanya menjadi menara tanpa makna karena tak ada titik temu. Padahal, outsourcing merupakan bentuk dehumanisasi terhadap buruh. Tangis buruh adalah duka negeri. C13/C15/ ed: Ginting
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal kontroversi terkait outsourcing , di antaranya:
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun;
- pekerjaan yang bersifat musiman;
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kontroversi revisi Pasal 59
(1) yang dilakukan atas dasar jangka waktu dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan;
(6) Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan pekerja/buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja, pekerja/buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT.(SPP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar