JANJI reformasi birokrasi yang disuarakan Kejaksaan Agung, 9 Desember 2009 lalu, seperti senapan kosong. Nyaring suaranya, tapi tidak pernah mampu menghabisi anasir jahat karena tidak berpeluru.
Persis empat bulan sejak janji itu dideklarasikan Jaksa Agung Hendarman Supandji di hadapan pers di Gedung Bundar, Korps Adhyaksa itu tetap saja tidak berubah. Bahkan, kian parah. Setelah kasus jaksa Urip, sekarang terbongkar kasus jaksa Cirus Sinaga dan kasus jaksa Poltak Manullang berkaitan dengan mafia pajak.
Cirus dicopot dari kursi Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, sedangkan Poltak dicopot dari jabatannya selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. Keduanya dinyatakan bersalah karena tidak cermat menangani perkara pajak senilai Rp28 miliar dengan terdakwa Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak golongan IIIA. Akibat ketidakcermatan itu, Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Gayus.
Semua itu baru ditelusuri kembali setelah mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji 'bernyanyi' dan terbongkarlah betapa dahsyatnya mafia pajak yang melibatkan empat institusi, yaitu Ditjen Pajak, kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Ditjen Pajak langsung merespons dengan berbagai langkah. Disusul kemudian Polri. Pekan lalu, meski terlambat, giliran Kejaksaan Agung yang menindaklanjuti praktik curang dalam kasus Gayus itu dengan mencopot Cirus dan Poltak.
Namun, keduanya hanya dicopot dari jabatan struktural. Mereka tetap aktif sebagai jaksa. Bahkan--ini yang paling tidak masuk akal dan menyakitkan nurani publik--kedua jaksa itu tetap dibolehkan menangani perkara.
Padahal, dasar pertimbangan putusan kejaksaan mencopot keduanya, yang paling utama, adalah ketidakcermatan menangani perkara. Dengan tetap membolehkan kedua jaksa itu menangani perkara, alih-alih mereformasi institusi, kejaksaan justru sedang mengembangbiakkan ketidakcermatan penanganan perkara.
Jaksa Cirus, misalnya, sudah sering dikritik berbagai kalangan sebagai jaksa yang kurang cermat menyusun dakwaan. Itulah yang terjadi dalam perkara mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Saat itu, Cirus lebih banyak mengungkapkan dakwaan bersifat insinuatif berbumbu roman picisan. Tapi, ketika ia dikritik karena dakwaan itu, ia malah meminta para pengkritik itu untuk bersekolah kembali.
Keputusan Kejaksaan Agung bahwa Cirus dan Poltak tidak cermat, dan karena itu dicopot, tidaklah cukup. Memberikan kesempatan kepada keduanya untuk tetap menangani perkara sama saja dengan membiarkan tangan-tangan jahat mafioso menggerayangi kejaksaan.
Kapan kejaksaan akan bersih? Mediaindonesia.com (SPP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar