(Segeralah Melaksanakan Amal Kebaikan)
Oleh: Amin RH
Menunda aktivitas adalah salah satu penyakit yang sering tidak disadari. Padahal setiap kali se-seorang menunda suatu aktivitas yang telah direncanakan pada waktu yang juga direncanakan berarti hanya menumpuk kesulitan dan pekerjaan bagi dirinya. Banyak sekali contoh kecil tentang ini. Misalkan, Anda seorang mahasiswa Biologi. Besok Kamis mau ada ujian akhir Biologi. Bahan –bahan sudah terkumpul sejak hari Senin, tercatat ada 5 buku yang tebalnya masing-masing 400 hal. Sampe hari Selasa Anda belum belajar juga (mungkin masih istiqomah dengan prinsip SKS, Sistem Kebut Semalam). Akhirnya diputuskan hari Rabu malam belajarnya. Tanpa disangka malam Kamisnya listrik semalaman dikost-kost-an MATI! Subhanallah, Apa yang akan Anda lakukan? padahal ujian Biologi tepat jam 7 pagi! Sedang jarak kost Anda dari kampus mesti harus naik angkot 2 x. Anda tidak punya motor! Belum, ada kemungkinan besar bangun tidur Anda kesiangan, sebab semalaman nungguin listrik nyala ! Itu baru contoh kecil, belum contoh yang besar!
Begitulah, setiap perbuatan yang semestinya dilakukan –karena memang Anda mampu melakukannya– tetapi diulur-ulur waktu pelaksanannya, akibatnya adalah banyaknya kesulitan dan ujung-ujungnya kegagalan, sadar atau tidak.
Ada beberapa hal yang biasanya menjadikan seseorang menunda-nunda aktivitas :
Pertama, Thulul Amal (merasa umur masih panjang)
Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barri, jilid XI, menjelaskan, bahwa jika penyakit thulul amal ini menjangkiti manusia, maka tidak ayal lagi akan membawa indikisasi yang lebih serius, misalnya mulai mendekati larangan Allah, enggan bertobat –apalagi dengan ditundanya azab Allah bagi umat Muhammad (berbeda dengan umat-umat sebelumnya)– akan semakin mengenjoykan orang-orang yang terjangkit penyakit ini. Akhirnya lupa alam akhirat dan hatinya menjadi keras. Sementara hati dapat menjadi lunak dan bersih hanya dengan mengingat-ingat kematian, kehidupan di alam barzakh, pahala serta siksa. Tepat sekali sabda Rasullulah Saw, “Bahwa orang (dari umatku) yang paling cerdas adalah yang mempersiapkan hidupnya untuk matinya.” Artinya, ketika kita melakukan setiap perbuatan hendaklah selalu ingat, JANGAN-JANGAN INI KESEMPATANKU YANG TERAKHIR. Kita kuliah, kita bekerja, kita berbakti pada orang-tua, kita sholat, kita berdakwah dan lain-lain mesti harus ingat prinsip ini. Jangan sekali-kali menyepelekan waktu barang sedetik pun, semenit pun, apalagi sampai sejam, sehari, seminggu! Ingat, seorang pelari 100m, mereka sangat menghargai waktu 1 detik. Juga seorang pilot pesawat terbang adalah orang yang menghargai waktu 1 menit. Itu semua, karena kematian atau ajal akan datang kapan saja dan dimana saja! Allah SWT akan memilih secara acak kepada siapa ajal akan diberikan.
Kedua, Lebih percaya pada dugaan daripada realitas.
Jika Anda memiliki produktivitas dan percaya diri yang tinggi amatlah bagus. Namun jika produktivitas dan PD yang tinggi tersebut kemudian melahirkan ditundanya aktivitas yang mestinya segera Anda lakukan, berarti ada yang keliru pada diri Anda. Maka, sikap sistem SKS sebenarnya sikap yang keliru. Pertama, Anda terlalu percaya diri, bahwa semuanya akan lancar-lancar saja –padahal oleh Anda sudah direncanakan sebelumnya namun kemudian ditunda. Kedua, Anda menafikan adanya qadla’ (kepastian). Artinya, Anda lebih mempercayai sesuatu yang sifatnya dugaan atau prasangka (dzanni) daripada yang pasti datangnya (qadla’). Katakanlah, apakah dengan sistem SKS yang Anda pakai ditambah dengan produktivitas dan PD tinggi yang Anda miliki maka semuanya pasti berjalan lancar? Belum tentu! Ada faktor X yang patut diingat yaitu qadla Allah SWT. Maka dari itu, sikap bekerja keras musti dibarengi dengan tawakal alias berdoa kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan dan melapangkan segala urusan-urusan.
Ketiga, Menjadikan orang lain sebagai tolak ukur.
Artinya, menyangka bahwa kebahagiaan, keberhasilan atau kecelakaan dirinya ditentukan oleh orang lain. Contohnya, perkataan, “Si anu hari ini tidak baca al-Qur’an, kalo gitu saya juga tidak baca dong…” atau perkataan lain, “Alhamdullilah, si anu belum mengerjakan . Padahal dia kan… termasuk orang paling rajin. Kalo gitu, saya juga nanti saja ah mengerjakannya…” Jelas, sikap demikian sesungguhnya cerminan dari orang yang tidak mandiri!
Semestinya kita sebagai kaum muslim sadar akan firman Allah SWT:
“Tidaklah suatu jiwa menanggung dosa orang lain…” (Qs. al-An’âm [6]: 164)
“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa-apa yang ia lakukan…” (Qs. ath-Thûr [52]: 21).
Dari ayat diatas jelas, bahwa Allah memberitahukan pada kita kalo melakukan kebaikan atau melakukan kemaksiatan yang akan dihisab adalah diri kita sendiri atas dasar perbuatan sendiri. Bila demikian keadaannya maka siapapun yang menyadari hal ini tidak akan lagi menggantungkan perbuatannya kepada “melakukan atau tidaknya orang lain”.
Karenanya, yang musti dinyatakan dalam diri kita, “Orang lain shalih atau tidak, saya harus shalih!” “Orang lain hari ini membaca al-Qur’an atau tidak, saya harus membaca!” “Orang lain berdakwah atau tidak, saya harus tetap berdakwah!”
Keempat, Malas.
Malas adalah musuh bagi seorang muslim, karena sikap malas berasal dari syaithan. Sebagaimana Amerika dan Israel adalah musuh kita, karena telah membantai sekian juta kaum muslim! Oleh karena itu, ada 2 langkah yang perlu dilakukan kita untuk menghancurkan rasa malas tersebut: 1. Mengesampingkan rasa malas tersebut, lalu bersegera keras untuk melakukan aktivitas yang harus dilakukan. 2. Berlindung kepada Allah SWT dari sikap malas. Bagaimana caranya? Caranya seperti ketika kita dikejar-kejar anjing. Pertama kita lari, kok…masih ngejar, kita berhenti, kemudian cari batu. Sudah dilempar batu tapi kok…masih ngejar juga, terakhir kita panggil pemiliknya. Yakin deh…ketika pemiliknya datang, pasti anjingnya manut (berhenti). Sebagaimana ketika kita mengusir setan. Panggil pemiliknya atau yang menciptakannya, yaitu Allah SWT. Bacakan doa-doa yang intinya kita berlindung dari godaan setan. Dengan pertolongan si pemilik syaithan (Allah SWT), syaithan-nya pasti lari.
Kelima, Aktivitas yang ditunda sangat mungkin disebabkan ketidaktahuan tentang apa yang harus dikerjakan.
Barangkali orang yang menunda aktivitas –padahal waktunya juga luang– adalah orang-orang yang dikarenakan tidak tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Yang pada akhirnya, bersikap bingung, kemudian melamun, hingga tidur-tidur-an sampe tidur beneran.
Jika ini yang menyebabkan tertundanya aktivitas, maka solusi yang baik adalah melakukan perencanaan. Apalagi bagi seorang aktivis dakwah; perencanaan adalah nomor satu dari setiap aktivitas yang akan dilakukannya. Apa-pun jenis aktivitasnya, baik saat mengadakan seminar, diskusi publik, ngisi ceramah, kontak tokoh atau sebarkan bulletin. Karena itu semua adalah dalam rangka berjuang dijalan Allah. Sehingga tidak bisa seenaknya ketika mengerjakannya. Ingat, kata pepatah “Kegagalan dalam merencanakan berarti berbanding lurus dengan merencanakan kegagalan.”
Kehidupan Rasullullah Saw, bila kita lihat sirah-nya, hidupnya penuh dengan perencanaan. Misalnya, bagaimana ketika beliau akan ber-hijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu sarat dengan perencanaan. Sampe-sampe siapa yang nanti harus dijadikan “peran” pengganti sebagai Rasul saat tidur pun, sudah direncanakan matang-matang, yaitu, sahabatnya Ali ibn Thalib r.a.
Keenam, Aktivitas yang melebihi kapasitas diri sendiri tidak jarang mengakibatkan ditundanya perbuatan.
Keinginan untuk bisa melakukan aktivitas semuanya pada waktu yang berbarengan, memang ada dan menimpa setiap orang. Namun, bijak kiranya suatu saat kita perlu mengerem-nya ketika itu diluar kemampuan Anda. Jika tidak, semuanya akan serba tanggung, serba setengah-setengah alias tidak maximal. Selain karena factor keterbatasan diri sendiri, waktu yang diperuntukkan Allah bagi manusia juga amatlah sedikit. Bayangkan, sehari hanya 24 jam. Tidak lebih. Padahal kewajiban yang harus ditunaikan demikian banyak. Betul kata pepatah, “al waqthu qashir wal amal katsir” (waktu amatlah sedikit, namun pekerjaan sangat banyak).
Maka dari itu satu-satunya cara yang harus ditempuh adalah menetapkan skala prioritas. Tentunya bagi seorang muslim yang taat, skala prioritas musti dikembalikan kepada skala-syariat. Yakni, apakah itu wajib, sunnah (mandub), mubah (boleh), makruh atau-kah haram. Dengan skala prioritas ini, insya allah kita akan terjaga dari perkara-perkara yang sia-sia, juga waktu yang setiap detik, menit selalu berganti tidak akan terbuang cuma-cuma. Nabi Saw, mengingatkan:
“Diantara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apapun yang tidak berguna baginya.” [HR. at-Tirmidzi].
Dan salah satu ciri orang mukmin adalah meninggalkan laghwu, yaitu perkara yang sia-sia, seperti disebut pada awal-awal surat al-Mukminun.
Inilah sekilas landasan yang dapat dijadikan pegangan dalam menghilangkan penyakit menunda-nunda aktivitas kebaikan. Hanya saja, kuncinya tetap ada pada Anda sendiri Wallahu ‘alam bi shawab. (SPP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar